Dermaga Bintang Mas, Rasau Jaya. Setitik keindahan dalam Kesederhanaan


Potensi wisata di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat sebenarnya masih sangat besar. Hanya saja, masalah fasilitas, infrastruktur, promosi dan kepedulian pemerintah (serta masyarakat) masih rendah sehingga acapkali banyak daserah yang memiliki potensi untuk menjadi daerah wisata menjadi tidak dapat terlihat maksimal.

Pada suatu kesempatan saya mengunjungi sebuah tempat di Kalimantan Barat bernama Rasau Jaya, yang merupakan bagian dari Kabupaten Kubu Raya. Berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Pontianak. Selama ini, Rasau memang lebih dikenal sebagai sebuah kecamatan pusat transmigrasi. Tak heran di Rasau akan banyak dijumpai warga transmigrasi dari suku jawa ataupun sunda, meski juga banyak masyarakat etnis lain seperti bugis dan madura. Rasau juga dikenal sebagai pusat pengembangan agrobisnis terpadu. Rasau menjadi tulang punggung transportasi air antarwilayah kerena keberadaan pelabuhan airnya.

Nah, di pelabuhan airnya inilah saya mencoba merekam hal-hal yang sebenarnya sangat sederhana dan dapat ditemukan di banyak daerah di Kalimantan Barat. Walau sederhana, perjalanan saya ke dermaga Bintang Mas Rasau berhasil mendapatkan beragam keindahan yang tidak disadari. Walaupun sederhana, keindahan itu nyata.

Berikut adalah beberapa bagian dari catatan saya.

Karena jalan yang berkelok-kelok dan cukup kecil, perjalanan biasanya membutuhkan waktu sekitar 60 menit bila menggunakan mobil pribadi. Pemandangan seperti sungau kecil, pondok, dan sawah akan kerap ditemui.

IMG_20130902_171454

Ketika ingin masuk ke dermaga Bintang Mas, kita akan menyusuri sebuah jalan setapak yang berdampingan dengan sebuah sungai kecil. Sungai kecil ini kemudian akan bersatu dengan Sungai besar.

Awan berbayang di permukaan sungai
Awan berbayang di permukaan sungai
Rerumputan tenang menyapa air
Rerumputan tenang menyapa air

Kita pun dapat menyaksikan kegiatan dan kehidupan para penduduk di sekitar sungai.

Seorang ibu yang berangkat ke ladang
Seorang ibu yang berangkat ke ladang
Seorang bapak sedang mendayung perahu ke ladang
Seorang bapak sedang mendayung perahu ke ladang
Sebuah rumah kayu di tengah ladang
Sebuah rumah kayu di tengah ladang

Banyak hal menarik yang dapat kita temukan di sepanjang jalan setapak masuk ke dermaga.

Jalan Setapak masuk ke dermaga
Jalan Setapak masuk ke dermaga
Perahu/sampan yang sedang dibuat oleh penduduk
Perahu/sampan yang sedang dibuat oleh penduduk
Warga pembuat perahu
Warga pembuat perahu

Tak lama, kita akan sampai di Dermaga Bintang Mas.

IMG_20130831_130535Di dermaga Bintang Mas inilah, daerah-daerah seperti Sungai Deras dan Teluk Pakedai dihubungkan, meski juga telah terkoneksi oleh jaringan transportasi darat atau jalan. Yang unik dari dermaga ini adalah kapal-kapalnya yang beroperasi selama 24 jam memiliki bentuk yang rendah. Dimana para penumpang akan berdiri atap kapal bersama dengan kendaraan bermotor beroda dua mereka. Untuk menyebrang mereka harus membayar Rp. 5000 saja. Jangan khawatir mengenai keamanan kendaraan anda, karena sudah ada beberapa orang yang memang bertugas membantu para penumpang menaikkan dan menurunkan motor dan menempatkannya di posisi yang benar diatas atap kapal.

Seorang bapak sedang menunggu motornya dinaikkan ke atas kapal.
Seorang bapak sedang menunggu motornya dinaikkan ke atas kapal.
Kegiatan menaikkan dan menurunkan penumpang ini akan terus berlangsung selama 24 jam. Kapan saja dibutuhkan.
Kegiatan menaikkan dan menurunkan penumpang ini akan terus berlangsung selama 24 jam. Kapan saja dibutuhkan.
Berangkat
Berangkat

IMG_20130829_134449Kadang, banyak penumpang yang menunggu waktu untuk disebrangkan dengan berhenti di sebuah warung makan yang terletak tepat ditepi sungai dan dermaga. Warung ini tidak berhenti terus didatangi oleh para penumpang.

Warung dermaga
Warung dermaga
Saya kebetulan mencicipi salah satu jenis makanan di warung tersebut, sup tulang dengan ketupat. Ada beberapa pilihan makanan lain seperti bakso atau nasi, ada juga Pak Daeng Bacok, seorang warga keturunan etnis bugis yang menjual martabak manis atau apam pulu pinang. Kopi hitam pun akan menjadi andalan ketika hari menjelang sore.
Saya kebetulan mencicipi salah satu jenis makanan di warung tersebut, sup tulang dengan ketupat. Ada beberapa pilihan makanan lain seperti bakso atau nasi, ada juga Pak Daeng Bacok, seorang warga keturunan etnis bugis yang menjual martabak manis atau apam pulu pinang. Kopi hitam pun akan menjadi andalan ketika hari menjelang sore.
Bila anda hobi memancing, ini merupakan salah satu tempat sempurna. Sembari makan apam, minum kopi dan menikmati pemandangan dan angin sungai yang menyapa, anda dapat menunggu kail disambar ikan. Menurut informasi, pada masa-masa tertentu, ketika air sungai surut kita dapat memancing ikan air asin yang masuk dari laut. Memang, kawasan ini dekat sekali dengan laut.
Bila anda hobi memancing, ini merupakan salah satu tempat sempurna. Sembari makan apam, minum kopi dan menikmati pemandangan dan angin sungai yang menyapa, anda dapat menunggu kail disambar ikan. Menurut informasi, pada masa-masa tertentu, ketika air sungai surut kita dapat memancing ikan air asin yang masuk dari laut. Memang, kawasan ini dekat sekali dengan laut.
Pemandangan sungai dari warung.
Pemandangan sungai dari warung.
IMG_20130831_131014
Peaceful

Saya pun sempat diundang ke pondok sederhana pak Daeng Bacok di dekat dermaga untuk sekedar beristirahat dan berbincang dengan beliau. Pembicaraan terus mengalir dalam beragam tema. Informasi mengenai Rasau, kegiatannya, serta keadaan sosial budaya pun menjadi bahan yang sepertinya tak habis-habisnya.

Pondok mungil pak Daeng Bacok.
Pondok mungil pak Daeng Bacok.
Kedua perahu ini tertambat di sungai kecil di belakang pondok pak Daeng. Keduanya sebenarnya dijual dengan harga Rp. 550.000, namun banyak orang juga menyewanya seharga Rp. 15.000 - Rp. 20.000 per hari untuk beragam tujuan. Salah satunya adalah untuk memancing ke tengah sungai besar.
Kedua perahu ini tertambat di sungai kecil di belakang pondok pak Daeng. Keduanya sebenarnya dijual dengan harga Rp. 550.000, namun banyak orang juga menyewanya seharga Rp. 15.000 – Rp. 20.000 per hari untuk beragam tujuan. Salah satunya adalah untuk memancing ke tengah sungai besar.

IMG_20130831_125643Banyak hal indah lagi yang bisa didapatkan di Rasau Jaya. Daerah yang terkenal dengan penghasil buah nanasnya ini juga menghasilkan banyak panenan buah-buahan dan bahan-bahan manakan lainnya. Inilah sekelumit rekaman perjalanan saya di Rasau Jaya. Hampir setiap jengkal daerah di Kalimantan pun sebenarnya tidak luput dari setitik keindahan dari kesederhanaannya.

IMG_20130831_130053

Catatan Pelarian Tiga Hari (Pulau Lemukutan, Bengkayang – Singkawang – Pemangkat)


Pulau Lemukutan, Kabupaten Bengkayang
Pulau Lemukutan, Kabupaten Bengkayang

Akhirnya, kesempatan kembali melakukan sebuah perjalanan untuk sejenak ‘melarikan diri’ dari rutinitas pekerjaan dan kegiatan sehari-hari terlaksana. Pada awalnya, saya dan teman-teman merencanakan untuk sekedar bermalam dan melakukan sebuah wisata pulau, meski ternyata pada praktiknya kami melakukan sebuah perjalanan selama kurang lebih tiga hari.

Berikut adalah catatan perjalanan pelarian tiga hari kami.

1.   Hari Pertama

Wisata pulau akhir-akhir menjadi salah satu primadona pilihan para wisatawan lokal atau ‘pelarian’ seperti kami. Paling tidak ada tiga pulau yang cukup populer untuk dikunjungi. Pertama adalah pulau Kabung (silahkan baca tulisan saya mengenai Pulau Kabung), pulau Lemukutan dan pulau Randaian. Ketiga pulau ini terletak di kawasan yang berdekatan dan masih masuk ke dalam wilayah kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Pulau Randaian sendiri sebenarnya adalah pulau yang paling populer dan kerap dikunjungi wisatawan. Hanya saja, walau ketiga pulau memiliki wilayah yang berdekatan, masing-masing pulau memiliki ‘teknik’ tersendiri untuk dapat dikunjungi dan dinikmati. Jiwa petualang dan pecinta alam bebas sangat diperlukan bila anda ingin mengunjungi pulau-pulau tersebut.

Kamipun memutuskan untuk memilih pulau Lemukutan, dengan beragam alasan, salah satunya adalah karena kami memang belum pernah mengunjungi tempat tersebut.

Kami berangkat dengan menggunakan mobil pribadi. Pada awalnya, keberangkatan kami dimulai dengan bertujuh, namun kedua teman kami lainnya memutuskan hanya berhenti di Singkawang untuk melanjutkan perjalanan mereka sendiri. Sedangkan kami terus menuju ke pulau Lemukutan.

Karena ini merupakan sebuah wisata pulau, sudah barang tentu diperlukan jasa penyebrangan. Pada umumnya, ada dua dermaga yang digunakan untuk melakukan aktifitas penyebrangan. Pertama adalah Teluk Suak, yang kedua adalah dermaga penyebrangan Samudra Indah atau juga dikenal dengan sebutan SI. Kedua dermaga memang digunakan untuk menyebrangkan orang dari beragam pulau di area wilayah Bengkayang dan sebaliknya.

Kami berangkat dari Pontianak pukul 5 pagi. Perkiraan perjalanan dari Pontianak ke Teluk Suak atau Pantai Samudra adalah 3 jam. Sebaiknya perjalanan memang awal di pagi hari agar juga dapat sampai awal di dermaga, namun bukan berarti harus tergesa-gesa di perjalanan. Kapal dari dermaga diperkirakan berangkat pada pukul 8 pagi, namun ini tidak selalu dapat dipastikan dengan melihat pada jumlah penumpang yang akan disebrangkan.

Kamipun tidak terlalu memburu waktu karena perjalanan juga merupakan sesuatu yang perlu dinikmati bersama. Kami sempat berhenti di Sungai Duri untuk rehat dan mengisi perut.

Salah satu sisi daerah Sungai Duri yang menunjukkan pertokoan dan rumah makan.
Salah satu sisi daerah Sungai Duri yang menunjukkan pertokoan dan rumah makan.

Kami melanjutkan perjalanan dan sesampainya di Teluk Suak kami kurang beruntung karena kapal tidak ada yang merapat, mungkin diakbibatkan oleh air yang sedang surut atau beragam alasan lain yang menjadi pertimbangan para awak kapal. Untuk mencapai pulau-pulau di area tersebut, kedua pilihan sangat dimungkinkan. Bila anda kurang beruntung di Teluk Suak, SI adalah pilihan lainnya. Ini kerap terjadi, jadi jangan bingung.

Keberuntungan kami juga belum berbuah hasil ketika sampai di SI, karena kami masih harus menunggu kurang lebih 1 jam karena kapal yang menuju ke Pulau Lemukutan masih belum merapat. Toh, ketika kapal sudah merapat pun ada waktu tambahan untuk bongkar muatan.

Mobil pribadi yang kami gunakan untuk perjalanan dari Pontianak diparkirkan di lahan jasa parkir yang cukup banyak terletak di area Pantai Samudra. Biaya untuk jasa penitipan kendaraan ini sebesar RP. 20.000.

[Alternatif lain untuk mencapai Teluk Suak atau SI adalah dengan menggunakan sepeda motor yang dapat dititipkan di lahan jasa parkir atau menggunakan bus dengan jurusan Pontianak-Singkawang. Biasanya bus berangkat pada pagi-pagi buta, sekitar jam 4 pagi]

Sambil menunggu keberangkatan, kami bersantai sedikit di pantai Samudra. Perlu diketahui, ada perbedaan yang mendasar antara Teluk Suak dan SI. SI selain berfungsi sebagai dermaga pada dasarnya juga merupakan sebuah kawasan wisata pantai. Jadi tidak heran, kawasan berpasir ini juga ramai dikunjungi warga dari berbagai tempat karena keindahannya.

Pantai Samudra Indah
Pantai Samudra Indah
Sebuah batu besar di Pantai Samudra yang cukup unik. Di sisi batu terdapat lukisan unik yang bila diteliti ternyata adalah lukisan pemandangan pantai Samudra itu sendiri.
Sebuah batu besar di Pantai Samudra yang cukup unik. Di sisi batu terdapat lukisan unik yang bila diteliti ternyata adalah lukisan pemandangan pantai Samudra itu sendiri.
Sebuah pondok di pantai Samudra. Terlihat lepas, santai dan semilir ...
Sebuah pondok di pantai Samudra. Terlihat lepas, santai dan semilir …
Keisengan melanda anggota kelompok. Salah seorang teman membawa sebuah boneka monyet. Kebetulan kami juga membeli keripik pisang segedong, jadi pas sekali seakan sang monyet yang memakan keripik pisang tersebut :). Sang pemilik boneka tepat berada di belakangnya ...
Keisengan melanda anggota kelompok. Salah seorang teman membawa sebuah boneka monyet. Kebetulan kami juga membeli keripik pisang segedong, jadi pas sekali seakan sang monyet yang memakan keripik pisang tersebut :).
Sang pemilik boneka tepat berada di belakangnya …

Waktu kami untuk menaiki kapal pun akhirnya tiba. Kapal yang kami gunakan (dan kapal-kapal lain yang menyewakan jasa penyebrangan) adalah sebuah kapal yang berukuran sedang. Menurut informasi yang kami dapatkan, kapal dapat memuat lebih dari 30 orang penumpang. Ini tidak termasuk barang-barang yang dapat dinaikkan ke kapal. Terhitung sebuah kendaraan bermotor juga terlihat dinaikkan ke kapal.

Dermaga Samudra Indah. Motor air masih merapat.  Bongkar muatan dan menunggu penumpang.
Dermaga Samudra Indah.
Motor air masih merapat. Bongkar muatan dan menunggu penumpang.
Dermaga Samudra Indah. Saatnya berangkat!
Dermaga Samudra Indah. Saatnya berangkat!

Pada saat kami menyebrang, selain warga dari pulau, terlihat banyak sekelompok anak muda yang juga bertujuan untuk berwisata ke pulau serta sekelompok ibu-ibu yang nampaknya ingin berwisata ke pulau Randaian.

Pemandangan dari atap motor air menuju ke pulau Lemukutan.
Pemandangan dari atap motor air menuju ke pulau Lemukutan.

Video berikut merupakan gambaran singkat situasi perjalanan penyebrangan ke Pulau Lemukutan:

Pemberhentian pertama adalah di pulau Lemukutan. Kami harus turun di dermaga Lemukutan sedangkan kapal masih akan melanjutkan perjalanan ke perhentian lainnya.

Dermaga pulau Lemukutan
Dermaga pulau Lemukutan
Dari dermaga ke pemukiman warga kami herus melewati jalan setapak panjang dari papan ini. Bila anda seorang fotografer, saya rasa scene ini tidak akan lepas dari bidikan anda.
Dari dermaga ke pemukiman warga kami herus melewati jalan setapak panjang dari papan ini. Bila anda seorang fotografer, saya rasa scene ini tidak akan lepas dari bidikan anda.
SELAMAT DATANG
SELAMAT DATANG
Sebuah perahu milik warga di tepian dermaga pulau Lemukutan.
Sebuah perahu milik warga di tepian dermaga pulau Lemukutan.

Di pulau Lemukutan, ada seorang warga yang memiliki jasa penginapan di pulau tersebut, ia adalah pak Andi. Ternyata tidak sulit untuk menemukan Pak Andi, selain karena pulau tidak begitu besar, warga juga sangat mengenal pak Andi. Ia adalah satu-satunya pemilik usaha jasa penginapan di pulau tersebut.

Pak Apriandi atau Pak Andi. Warga pemilik tanah di sebuah tanjung pulau Lemukutan dan pengusaha wisata pulau dan pondokan Lemukutan. Ia adalah seorang yang ramah dan nampaknya seorang yang konsisten di dalam jalur usahanya ini. Usaha wisata pulau ia garap dengan serius. Tak heran ia tampak sangat serius dalam segala hal yang berkaitan dengan usahanya, termasuk fasilitas dan pelayanan. Jangan ragu untuk bertanya dan meminta apa-apa saja yang diperlukan selama berlibur di pulau Lemukutan.
Pak Apriandi atau Pak Andi. Warga pemilik tanah di sebuah tanjung pulau Lemukutan dan pengusaha wisata pulau dan pondokan Lemukutan. Ia adalah seorang yang ramah dan nampaknya seorang yang konsisten di dalam jalur usahanya ini. Usaha wisata pulau ia garap dengan serius. Tak heran ia tampak sangat serius dalam segala hal yang berkaitan dengan usahanya, termasuk fasilitas dan pelayanan. Jangan ragu untuk bertanya dan meminta apa-apa saja yang diperlukan selama berlibur di pulau Lemukutan.

Pak Andi memiliki tiga buah penginapan di sebuah tanjung (daratan di tepian yang agak menjorok ke arah laut). Menurut cerita Pak Andi, usaha yang ia rintis ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bangunan penginapan yang semula hanya satu bertambah menjadi tiga buah. Dari bentuk fisik dan fasilitas, sebenarnya penginapan Pak Andi memiliki kondisi cukup baik. Kamar mandi dan toilet yang memadai dengan air yang berlimpah, pelataran yang luas cukup untuk aktifitas kelompok seperti api unggun atau kegiatan fisik lainnya.

Tempatnya juga strategis, tidak terlalu jauh dari pemukiman warga ketika kita perlu membeli barang-barang keperluan sehari-hari, namun juga tidak terlalu dekat sehingga para pengunjung tidak perlu merasa risau dan khawatir segala kegiatan akan dapat mengganggu warga. Pak Andi pun memiliki dermaga tepat di ujung tanjung, sehingga bila anda beruntung, kapal yang mengantar dan menjemput anda tepat di depan penginapan.

Bangunan penginapan Pak Andi berupa sebuah pondok dengan dua buah kamar dan sebuah pelataran memungkinkannya dapat dihuni sampai lebih dari 10 orang.

Dua Pondok yang saling berdampingan ini dapat dipilih oleh para pengunjung. Pekarangan yang luas dapat digunakan untuk beragam kegiatan. DI pelataran juga terdapat banyak bangku di bawah pohon yang dapat digunakan untuk makan atau sekedar berehat ria.
Dua Pondok yang saling berdampingan ini dapat dipilih oleh para pengunjung. Pekarangan yang luas dapat digunakan untuk beragam kegiatan. DI pelataran juga terdapat banyak bangku di bawah pohon yang dapat digunakan untuk makan atau sekedar berehat ria.
Pondok yang kami tinggali. Menurut Pak Andi, nama penginapan miliknya adalah Tanjung Jati dikarenakan letaknya di tanjung dan terdapat pohon kayu jati.
Pondok yang kami tinggali.
Menurut Pak Andi, nama penginapan miliknya adalah Tanjung Jati dikarenakan letaknya di tanjung dan terdapat pohon kayu jati.
Suasana diatas teras penginapan.
Suasana diatas teras penginapan.
Pondok lainnya yang terletak di sebelah ujung kawasan tanjung dimana bangunan ini terlihat lebih mendekati bibir pantai.
Pondok lainnya yang terletak di sebelah ujung kawasan tanjung dimana bangunan ini terlihat lebih mendekati bibir pantai.

Sampai disini, bila anda masih bingung mengenai rute kapal atau motor air dari teluk suak atau SI serta informasi mengenai penginapan, ada baiknya para pengunjung mengambil fasilitas ‘paket’ yang ditawarkan (Informasi mengenai penginapan sangat penting, mengingat penginapan pak Andi adalah satu-satunya usaha pondokan di pulau Lemukutan, maka bisa dikatakan hampir selalu penuh dihuni oleh para pengunjung. Bila tidak book sebelumnya, dikhawatirkan bila pengunjung tidak mendapatkan tempat tinggal di pulau Lemukutan). Kisaran harga per orang adalah Rp.400.000/orang dengan minimal kelompok berjumlah 5 orang. Namun bila rombongan diatas 10 orang, maka biayanya menjadi Rp.300.00/orang. Tentu saja ini akan lebih ringan bila anda datang beramai-ramai. Dengan harga ini, pengunjung sebenarnya sudah mendapatkan semua fasilitas dan kegiatan di pulau Lemukutan. Harga Rp.300.000 – Rp.400.000/orang sudah termasuk perjalanan pulang-pergi (PP) pulau Lemukutan – Teluk Suak sehingga para pengunjung tidak perlu lagi bingung memilih lokasi, waktu atau informasi lain mengenai penyebrangan. Selain itu, biaya tersebut sudah termasuk fasilitas, kegiatan, dan satu kali makan di pulau Lemukutan. Fasilitas dan kegiatan yang terkenal di Lemukutan adalah snorkling dan mengunjungi bagan (bangunan di laut yang digunakan untuk menangkap ikan). Sedangkan pada malam hari, para pengunjung juga dapat menikmati barbeque atau bebakaran ikan segar yang telah disediakan oleh pak Andi.

NOTE: Untuk booking pondokan atau informasi lainnya silahkan hubungi Ivan Handinata: 0852  8299  1811

Sebuah perahu yang terisi air di depan pondokan. Ketika sore menjelang, air di dalam perahu akan dikuras dan pengunjung dapat menggunakannya.
Sebuah perahu yang terisi air di depan pondokan. Ketika sore menjelang, air di dalam perahu akan dikuras dan pengunjung dapat menggunakannya.
Sahabat dan driver terbaik di dunia sedang menyeruput kopi Lemukutan buatan pak Andi ketika sampai di pulau, sembari menikmati pemandangan laut, angin pantai dan saat nanti ber-snorkling ria.
Sahabat dan driver terbaik di dunia sedang menyeruput kopi Lemukutan buatan pak Andi ketika sampai di pulau, sembari menikmati pemandangan laut, angin pantai dan saat nanti ber-snorkling ria.

Pada saat rombongan kami sampai di pulau, kami sudah tidak sabar menunggu sore tiba. Ketika sore menjelang kami diajak oleh para pegawai Pak Andi untuk dibawa ke laut dengan menggunakan perahu menikmati alam bawah laut, ya … Snorkling! Pak Andi memiliki beberapa buah peralatan snorkling, namun tidak semua dalam kondisi yang sempurna, meski cukup baik untuk digunakan. Saran saya akan lebih baik bila kita memiliki dan membawa peralatan sendiri, paling tidak bawalah goggle atau kacamata renang.

Pelampung dan peralatan snorkling
Pelampung dan peralatan snorkling

Di laut, pegawai pak Andi membawa kami ke sebuah karang yang sedikit mencuat dan terlihat membayang di permukaan, membuatnya menjadi semacam pijakan dangkal untuk para perenang. Dari situ kita dapat melakukan kegiatan diving, snorkling atau sekedar berenang menikmati alam. Tepian yang dangkal dengan susunan terumbu karang yang rumit memungkinkan beragam jenis ikan dan satwa air hidup dengan baik. Bila anda tidak dapat berenang, pastikan anda menggunakan pelampung yang juga disediakan oleh Pak Andi.

Namun, sayang sekali kami tidak dapat memotret keadaan di permukaan laut ketika kami terombang-ambing di atas perahu, atau merekam kehidupan di dasar laut, karena pengalaman yang satu ini nampaknya tidak dapat sekedar direkam melalui tulisan.

Setelah puas ber-snorkling dan ber-diving ria, jangan berhenti dahulu. Coba pinjam perahu milik pak Andi dan beranikan diri menggunakannya berkeliling bagan.

Setelah melakukan kegiatan di air, makanan yang ditunggu datang. Dalam keadaan basah dan lapar, sudah barang tentu ikan goreng, ikan bumbu asam pedas, sayur daun ubi (ketela) santan dan sambal terasi menjadi pelengkap kesempurnaannya. Bila anda berkesempatan makan di sana, jangan kelewatan mintalah dilengkapi sambal terasi Pak Andi, saya jamin rasanya extraordinary!

Saatnya makan ...
Saatnya makan …

Sebenarnya untuk perihal makan, penginapan memberikan pilihan lain. Pondok juga dilengkapi dengan sebuah dapur mini dimana disediakan kompor dan segala peralatan masak dan makan, termasuk kompor dan gasnya. Para pengunjung hanya perlu membawa bahan makanan. Pada saat kami menginap di sana, kami juga mendapatkan sekaleng penuh gula kopi dan dua buah galon air mineral. Tentu saja bila anda berniat untuk memasak makanan anda sendiri, anda harus sangat memperhitungkan bahan makanan yang perlu anda bawa.

Dapur mini.
Dapur mini.
Ini bukan iklan, tetapi tanpa diragukan, makanan instan adalah andalan dan bersifat wajib bila anda bepergian :)
Ini bukan iklan, tetapi tanpa diragukan, makanan instan adalah andalan dan bersifat wajib bila anda bepergian 🙂

Setelah makan, mandi dan berganti baju, kami bersiap melakukan kegiatan lainnya. Dua orang anggota kelompok kami meminjam motor pak Andi untuk membeli beberapa keperluan di warung warga sekalian menggunakan waktu untuk sedikit berkeliling pulau. Jalan setapak bersemen, walau kecil cukup untuk membantu anda berkeliling. Ada baiknya pula bila anda mencoba berjalan kaki dan mengejar pemandangan ketika sunset (matahari terbenam) di sisi lain pulau.

Ketika malam menjelang, listrik mulai hidup. Ya, jangan khawatir, bila anda tidak bisa lepas dari alat komunikasi dan sambungan internet dan tak sabar untuk segera menulis status di media sosial anda, anda akan dapat melakukannya. Listrik di pulau ini hanya mulai bisa digunakan pada pukul 18.00 sampai pukul 6 pagi keesokan harinya. Sinyal telepon dan internet pun bisa didapatkan, walau kadang tidak stabil pada beberapa jenis layanan penyedia (provider).

Dari awal rencana keberangkatan kami, kami sudah menyiapkan dua buah alat pancing (fishing rod) untuk memancing di laut. Kami sangat beruntung kami meminta untuk diikutsertakan ke bagan milik pak Andi untuk dapat melihat kegiatan disana sekaligus memancing ikan.

Namun sembari menunggu saat kami akan diajak ke bagan, kami menyempatkan diri untuk menikmati malam dengan berkumpul, bermain kartu serta mempersiapkan HP dan kamera yang sedang di-charge sebagai amunisi merekam aktifitas di bagan kelak.

Pak Andi memiliki dua buah bagan. Menurut cerita dari para pegawainya, setiap bagan berharga kurang lebih Rp. 20 juta dan dibangun dengan gotong royong. Uniknya, bagan-bagan tersebut akan hancur dalam satu tahun ketika oleh angin musiman sehingga dalam waktu satu tahun itulah para nelayan dan pengusaha kelautan harus memperoleh hasil berupa keuntungan dan modal untuk membangun bagan lain.

Video berikut menggambarkan sedikit kegiatan di atas bagan. Sebuah bagan dapat menampung sekitar 7 sampai 8 orang. Pengalaman di bagan akan menjadi pengalaman yang menyenangkan dan sedikit mendebarkan, terutama bagi anda yang tidak dapat berenang atau takut ketinggian. Namun tidak perlu terlalu khawatir pula, pelampung yang disediakan perlu anda pakai dan pegawai Pak Andi akan siap membimbing pengunjung.

Memancing ikan laut di atas bagan dalam kegelapan malam ditemani pijaran lampu-lampu belasan bagan ...
Memancing ikan laut di atas bagan dalam kegelapan malam ditemani pijaran lampu-lampu belasan bagan …
Gambaran di dalam bagan
Gambaran di dalam bagan
Sang penulis di dalam bagan
Sang penulis di dalam bagan

Kami berangkat ke bagan pada pukul 20.00 dan kembali menjelang tengah malam untuk kemudian mengolah ikan dan sotong hasil pancingan kami dengan membakarnya. Sotong yang kami dapatkan sebenarnya adalah hasil tangkapan Dani, salah seorang pegawai Pak Andi. Sedangkan Pak Andi juga menyiapkan beberapa ikan segar yang disediakan khusus untuk kami bakar.

Api unggun
Api unggun.
DI kejauhan, temaran lampu bagan seakan seperti pijaran bintang di langit malam.
Bebakaran. Ikan dan sotong yang segar ternyata sangat berpengaruh pada cita rasa. Jauh lebih enak dan gurih dibanding makanan laut yang telah menempuh perjalanan dan waktu yang lama dari nelayan ke para penjual ...
Bebakaran.
Ikan dan sotong yang segar ternyata sangat berpengaruh pada cita rasa. Jauh lebih enak dan gurih dibanding makanan laut yang telah menempuh perjalanan dan waktu yang lama dari nelayan ke para penjual …

Ketika kantuk telah mencapai mata dan lelah menyerang sel otak dan otot-otot, waktunya untuk beristirahat. Hampir semua anggota kelompok tidur di pelataran. Angin ternyata tidak membekukan, jaket dan kain seperlunya ternyata mampu membendung udara malam. Permasalahan terbesar adalah nyamuk. Lotion pengusir nyamuk atau obat pengusir nyamuk jenis lainnya juga merupakan peralatan wajib, meski bagi salah seorang anggota kelompok kami cicak nampaknya menjadi masalah yang terbesar, maklum ia menderita fobia terhadap cicak :).

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami harus bersiap meninggalkan pulau. Namun kami tidak akan mau melewatkan matahari terbit. Pada saat itu, matahari muncul tepat dibawah awan, seperti layaknya matahari muda yang bertopikan awan.

Morning in Lemukutan island  ... Enjoy !!
Morning in Lemukutan island … Enjoy !!

Sekitar pukul 6 pagi, kapal kembali membawa kami menyebrangi lautan menuju ke SI.

Kembali menuju dermaga SI
Kembali menuju dermaga SI

2.   Hari Kedua

Bila anda ke Singkawang, silahkan coba datang ke Bakso 91 yang terletak di pusat kota. Makanan halal ini ternyata dapat menarik perhatian dan selera makan saya. Yang membedakannya dengan bakso biasa adalah bahwa kami dapat memakannya dengan nasi dan tidak memasukkan mie nya. Selain itu kita dapat meminta potongan daging sapi selain bakso bulatnya. Keunikan lain adalah tahu di dalam menu bakso ini ada dua jenis, yaitu tahu putih isi dan tahu putih goreng isi. Silahkan mencoba!
Bila anda ke Singkawang, silahkan coba datang ke Bakso 91 yang terletak di pusat kota. Makanan halal ini ternyata dapat menarik perhatian dan selera makan saya.
Yang membedakannya dengan bakso biasa adalah bahwa kami dapat memakannya dengan nasi dan tidak memasukkan mie nya. Selain itu kita dapat meminta potongan daging sapi selain bakso bulatnya.
Keunikan lain adalah tahu di dalam menu bakso ini ada dua jenis, yaitu tahu putih isi dan tahu putih goreng isi. Silahkan mencoba!

Rencana kembali berlanjut. Semula kami hanya ingin menginap satu malam di pulau, namun akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Singkawang yang memang tidak terlalu jauh dari SI. Tidak sekedar melakukan perjalanan ke Singkawang, kami juga berencana menginap sehari lagi. Kami berencana berkunjung ke Pemangkat, sebuah kota kecil yang kabarnya juga memiliki sebuah daerah wisata yang juga cukup menarik. Selain itu, kami juga ingin mengunjungi kedua teman yang pada awalnya berangkat bersama kami namun berhenti di SI untuk melanjutkan perjalanan mereka sendiri.

Hotel tempat kami menginap di SIngkawang
Hotel tempat kami menginap di SIngkawang

Tak berapa lama kami di Singkawang, siang hari setelah kami selesai makan kami langsung menuju ke Pemangkat yang dapat ditempuh kurang lebih selama 30 menit.

Kami berhenti di sebuah vihara Buddha Tridharma yang dikenal dengan sebutan Sin Mu’ Nyiong. Vihara ini adalah sebuah vihara tiga agama tionghoa, Budha, Konghucu dan Taoisme yang tertinggi di Pemangkat. Bertemu kedua teman tersebut, kamipun menapak anak tangga menuju kuil puncak. Yang menarik dari kuil ini, selain tempatnya yang tinggi dan terletak di sebuah bukit yang menonjol di Pemangkat, dari atas kita juga dapat melihat seluruh kota Pemangkat yang dikelilingi oleh laut. Hal menarik lainnya adalah kegiatan peramalan. Banyak pengunjung yang mencoba peruntungan dengan meminta diramalkan atas karir, jodoh dan nasib mereka. Sang peramal menggunakan bahasa China dengan dialek khe’ yang unik. Beberapa teman yang memahami bahasa khe’ pun kesulitan memahami dialek ini. Menurut beberapa teman lain yang memahami dialek ini, dialek khe’ Pemangkat sangat khas, serupa dengan dialek khe’ daerah Sambas yang juga digunakan di Singkawang atau Pemangkat, atau bahasa jawa Banyumasan yang dialeknya tersebar di Purwekerto, Tegal, Banyumas atau Cilacap :D.

Vihara Tridharma Sin Mu' Nyiong Pemangkat
Vihara Tridharma Sin Mu’ Nyiong Pemangkat
Persiapkan diri anda untuk mendaki anak tangga ini.
Persiapkan diri anda untuk mendaki anak tangga ini.
Pemandangan dari Kuil puncak
Pemandangan dari Kuil puncak
Para 'pelarian'
Para ‘Pelarian’
Partners of Crime
Partners of Crime

Setelah puas menikmati pemandangan kota Pemangkat dari ketinggian, kami pun memburu makanan dan memutuskan agar kedua anggota tersebut ikut menginap beramai-ramai di Singkawang.

Es parut atau es serut, meskipun cukup awam, namun disadari ataupun tidak, peralatan ini merupakan peralatan pembuat es yang cukup klasik. Di Pemangkat kami singgah di Angie, tepat di depan Gereja Amkur yang juga menjual gorengan.
Es parut atau es serut, meskipun cukup awam, namun disadari ataupun tidak, peralatan ini merupakan peralatan pembuat es yang cukup klasik. Di Pemangkat kami singgah di Angie, tepat di depan Gereja Amkur yang juga menjual gorengan.
Es serut campur Pemangkat
Es serut campur Pemangkat
Gorengan di Pemangkat memiliki penyajian yang berbeda. Walau sama-sama menggunakan sambal, rasa sambalnya cukup berbeda. Selain itu hal yang paling unik adalah bahwa gorengan dipotong-potong dan dimakan dengan menggunakan tusuk gigi sembari dicocolkan ke sambal cair.
Gorengan di Pemangkat memiliki penyajian yang berbeda. Walau sama-sama menggunakan sambal, rasa sambalnya cukup berbeda. Selain itu hal yang paling unik adalah bahwa gorengan dipotong-potong dan dimakan dengan menggunakan tusuk gigi sembari dicocolkan ke sambal cair.

Mereka mengiyakan, namun sebelum kami berangkat, kami menuju ke perkebunan jeruk Tebas yang sangat terkenal sebagai jeruk Pontianak yang manis tersebut. Disana kami sempat mendokumentasikan sebuah lahan perkebunan jeruk serta sempat menyicipi beberapa buah jeruk secara cuma-cuma yang diberikan oleh salah seorang pegawai.

Jeruk Tebas yang terkenal manis ... sama seperti sang model :D
Jeruk Tebas yang terkenal manis … sama seperti sang model 😀
Pegawai perkebunan jeruk Tebas yang datang membawa jeruj gratis buat kami
Pegawai perkebunan jeruk Tebas yang datang membawa jeruj gratis buat kami.
Pusat kota Pemangkat. Terlihat hiasan digantung diatas jalan-jalan utama dalam rangka menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang akan jatuh pada tanggal 17 Agustus
Pusat kota Pemangkat. Terlihat hiasan digantung diatas jalan-jalan utama dalam rangka menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang akan jatuh pada tanggal 17 Agustus.
Kamera saya tidak bisa melewatkan pemandangan ini. Sebuah mobil pick-up yang membawa begitu banyak produk furnitur di sebuah jalan utama di Pemangkat. Unik atau berbahaya? Hmm...
Kamera saya tidak bisa melewatkan pemandangan ini. Sebuah mobil pick-up yang membawa begitu banyak produk furnitur di sebuah jalan utama di Pemangkat.
Unik atau berbahaya? Hmm…

Menjelang malam, kami melakukan perjalanan kembali ke Singkawang. Setelah makan malam, kami kembali ke hotel, kembali bermain kartu (ha ha ha) dan beristirahat.

3.   Hari ketiga

Keesokan harinya kami mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan kami pulang ke Pontianak. Namun sebelumnya semua bersepakat untuk pergi sarapan dan sekedar berkeliling kota Singkawang untuk mencari oleh-oleh. Beberapa teman sengaja memburu biji teratai yang biasa didapatkan di toko buah-buahan, beruntung mereka mendapatkannya. Karena seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, sangatlah tidak mudah untuk mendapatkan biji teratai ini. Beberapa penjual mengatakan bahwa biji teratai memiliki musim panen yang hanya pada waktu tertentu saja didapatkan di toko buah-buahan, seperti kali ini.

Pasar Turi Singkawang
Pasar Turi Singkawang
Salah satu gerobak di Pasar Turi Singkawang yang menjual beragam ikan asin dan ikan yang diawetkan
Salah satu gerobak di Pasar Turi Singkawang yang menjual beragam ikan asin dan ikan yang diawetkan
Biji bunga teratai yang dijual di toko buah-buahan tepat di depan warung makan 'ALA THAI' Singkawang. Seperti kacang-kacangan pada umumnya, rasa biji teratai pun agak hambar, namun memiliki sisi pahit. Cukup unik untuk dinikmati
Biji bunga teratai yang dijual di toko buah-buahan tepat di depan warung makan ‘ALA THAI’ Singkawang.
Seperti kacang-kacangan pada umumnya, rasa biji teratai pun agak hambar, namun memiliki sisi pahit. Cukup unik untuk dinikmati.
Sempatkan diri anda untuk mampir ke warung makan ALA THAI, dimana terdapat beragam makanan ala  China dan Thailand. Saya kebetulan tertarik dengan minuman asam segar yang bernama Nam Mong.
Sempatkan diri anda untuk mampir ke warung makan ALA THAI, dimana terdapat beragam makanan ala China dan Thailand. Saya kebetulan tertarik dengan minuman asam segar yang bernama Nam Mong.

Hari terakhir kami habiskan untuk berkeliling pasar Turi Singkawang atau ke beragam spot untuk mencari oleh-oleh. Selain biji teratai, yakinkan anda membeli rujak Singkawang yang sangat terkenal. Beberapa anggota rombongan juga sempat membeli mie putih untuk dibawa pulang. Mie putih ini adalah mie yang terbuat dari beras dan biasanya dijadikan bahan dasar untuk makanan seperti kwetiaw atau bakso.

Kedua teman kami kembali tidak dapat mengikuti perjalanan pulang ke Pontianak karena mereka memiliki rencana dan waktu sendiri dan harus tinggal di Singkawang untuk beberapa waktu.

Terakhir, sebelum mengakhiri ‘pelarian’ tiga hari, kami menyempatkan diri mampir ke Gereja Katolik Santo Fransiskus Asisi Singkawang. Bagi umat Katolik, ada hal yang unik yang bisa didapatkan di gereja ini. Kami sengaja mengunjungi tempat tersebut untuk membeli roti. Bukan sembarang roti, tapi roti yang dibuat dari remah-remah (crumbs) roti hosti yang sudah tidak dapat digunakan untuk liturgi ekaristi. Roti ini karena merupakan ‘daur ulang’ dari remah-remah memiliki sifat dan tekstur yang rapuh. Rasanya tidak manis, hanya roti gandum biasa. Namun ada sensasi terberkati ketika memakannya, maklum bagaimanapun roti ini dibuat dari remah-remah roti yang biasa digunakan dalam ritual keagamaan :).

Gereja Katolik Santo Fransiskus Asisi Singkawang
Gereja Katolik Santo Fransiskus Asisi Singkawang
Roti dari remah-remah hosti ... Sounds Blessing :D
Roti dari remah-remah hosti … Sounds Blessing 😀

Pelarian pun berakhir sudah, namun bagaimanapun pelarian dapat dilakukan kapan saja. Terutama ketika beban pekerjaan merayap dan kami membutuhkan sokongan teman dan kawan yang bersedia membagi tawa canda, kekonyolan dan cerita mereka untuk kembali menyelimuti kami dengan kegembiraan dan kenyamanan untuk kembali menghadapi hari.

Catatan Kuliner

Sayang sekali, bagi anda yang menganut agama Islam, ada baiknya anda melewati bagian ini. Karena makanan yang menjadi catatan mayoritas mengandung bahan yang dilarang untuk dikonsumsi oleh kaum Muslim, yaitu daging babi. Namun, bagi non Muslim dan ingin mencari informasi mengenai kuliner, mungkin catatan kuliner ini dapat menjadi tambahan informasi dan semoga menggugah selera anda.

Bubur Babi Pasar Turi Singkawang. Jangan lewatkan pagi di Singkawang dengan tanpa mencicip menu ini. Silahkan ke Pasar Turi Singkawang dan disana anda akan dapat menemukan beberapa warung penjual menu ini.
Bubur Babi Pasar Turi Singkawang.
Jangan lewatkan pagi di Singkawang dengan tanpa mencicip menu ini. Silahkan ke Pasar Turi Singkawang dan disana anda akan dapat menemukan beberapa warung penjual menu ini.
Di Sungai Duri, kami sempat berhenti untuk bersantap makan siang. Bila diperhatikan di foto, akan ditemukan beragam lauk-pauk dari daging babi. Anda hanya perlu memilih beragam lauk ini dengan sepiring nasi.
Di Sungai Duri, kami sempat berhenti untuk bersantap makan siang. Bila diperhatikan di foto, akan ditemukan beragam lauk-pauk dari daging babi. Anda hanya perlu memilih beragam lauk ini dengan sepiring nasi.
Di Pemangkat, kami diajak untuk makan siang di sebuah warung makan Yammie. Yang membuat makanan ini berbeda adalah dimana saya jarang sekali melihat yammie ini berbeda adalah adanya sayur kangkung di dalam menu :)
Di Pemangkat, kami diajak untuk makan siang di sebuah warung makan Yammie. Yang membuat makanan ini berbeda adalah dimana saya jarang sekali melihat yammie ini berbeda adalah adanya sayur kangkung di dalam menu 🙂

Meals and Open House


For the past ten years or so, there are a quite familiar custom held by a rich (or a very rich) person, or a public (governmental) officials in the public holidays, especially the religious ones, in Indonesia. It is ‘an open house’. Despite of the political and business purpose of the open house’s holder, open house actually has a ‘very Indonesian’ meaning, where religious tolerance, social care, and any of Pancasila’s characteristics are bound together in this custom. Two big religious ceremonies in Indonesia, Idul Fitri (Lebaran) and Christmas are often celebrated by holding an open house in a home office of a public official or a private house of a businessman to show that they care with the surroundings. By letting all people from different social groups, religions, ethnicities, wealth or economic state, to enter their houses, the open houses’ holders also show their feeling of tolerance and the sense of kinship. Open house becomes a way to get closer with the people (once more, despite the implicit (or even negative) purpose behind it).

‘Open House’ according to Merriam-Webster Dictionary (2012) is defined as ‘(noun) ready and usually informal hospitality or entertainment for all comers.’ By looking at this definition, no wonder that an open house becomes a culture in Indonesia, especially when it is compared to Indonesian’s people’s natural characteristics, where put the kinship, understanding, and tolerance at the top of the social life.

Though open house just started for around the last ten years ago, it becomes popular today along with more and more people become successful and richer in Indonesia. Of course by looking at this view, an open house is also meant a ‘show off moment’ to flaunt and expose ones’ wealth, especially because in an open house the host provides meals and entertainment.

This Christmas (2012), luckily, a big open house was successfully held in Pontianak (Kalimantan Barat (West Borneo) province, Indonesia) by its governor. As a Christian and a public official, Cornelis can be said as an official who first started this custom around five or six years ago, at the time he was elected through a democratic political election. He started this custom (perhaps now a culture) in the first term of his government and leadership. Now, as he was elected for the second time, the open house was held again as an annual custom, but now it is held in his second term.

On December 25 and 26, the open house was held in the governor’s home office. Different comers from different background were welcomed to visit this place. As it was held the previous years, foods, meals, drinks, and entertainments were always been waited. People came for free meals almost without limitation! What a party, right? The meal time started from 10.00 am to 05.00 pm and restarted at 06.00 pm to 09.00 pm, a break for the Muslim’s afternoon prayer.

Well, it was quite interesting for sure. That was why, I and my brother took a digital camera to freeze the moments and to have some meals of course. We visited the governor’s home office on December 26, right at lunch time 😉

I didn’t visit the open house last year (2011), but I did come the year before. This Christmas, I wanted to put this simple story in my blog to be shared.

In the governor’s home office square, we can see a huge Christmas tree. However, it is more beautiful if it is seen or taken by the camera at night… its lights of course. In the front door of the house, people were checked for their belongings through a metal detector and some security officers. It was a routine.

A Huge Christmas tree
A Huge Christmas tree
Entrance and metal detector
Entrance and metal detector

The interesting part was already seen in this part. In Indonesia, besides a Christmas tree as a symbol and a must in a Christmas, there is also a Christmas ‘cave’ (gua Natal). It is a structure imitating a place where Jesus was born. So, we can see statues of Jesus, Mary, Joseph, angels, a huge star, or even some more properties such as sheep, and the kings. The structure or building of this cave is usually made of papers painted with colors of the nature: color of the stone, grass, and sky. Some people build it in their houses, and also the churches. Some build it in a tiny structure and some build it in a very gigantic form.

On the front wall of the home office, range from most corner side to another side, there was a long and huge Christmas cave. On the right side of the entrance, we could see a Christmas cave with statues describe the story of Jesus’ birth, while on the left side of the entrance – this one is unique – we could see a scale model of a long house, a traditional house of dayak people.

Christmas cave
Christmas cave
Long house scale model
Long house scale model

The home office of the governor consists of four main rooms. There are two guest rooms, one dining room, and a big hall with a stage in it. When we entered the building, we could find the first guest room. It was a Malay-style guest room, where the unique characteristics could be found from the style of the chairs, ceiling ornaments and chandelier.

04. Guest Room (nikodemusoul.wordpress.com)

Hey, there was also a welcoming Santa! A robot singing playback song over and over… it was interesting for kids for sure. However, after few minutes, you really wanted to shut down and kill this robot… ha ha ha… I couldn’t imagine how bored the receiving-line-guy over there… 😀

Welcoming Sanra-robo
Welcoming Sanra-robo

Well, I will skip the second guest room. It was the time where the governor served people to take a picture with him. So it must be a very crowded time and room. When I said ‘people’ I referred to ‘special’ people, perhaps some business people, public officials and their families, the governor’s relatives and friends, and more special people. Common person like me wouldn’t dare enough to ask for a picture or two (though I don’t think that the governor himself mind about this). It was the main room where the governor’s and his families’ rooms were located. However, despite dare or not one in asking for a picture, people were very welcomed to enter this guest room. To sit and eat (if you confident enough), just to look around (many people were curious to see the insides of the building), or to take some pictures by yourself). So, let just consider, the second room was prepared for people who were confident enough to be the ‘special’ ones – with a note that there was no prohibition to anyone who wanted to stay in the room.

The third room was also an elegant room. It was a dining room with beautiful Malay-style-ceiling and chandelier – and some dayak ornaments in the entrances. Meals were prepared for anyone to have them. There were dim sum, roti cane [my Indian friend told me to spell ‘cane’ with ‘cenai’], bakso, sate, empek-empek, some fruit salads, and some more drinks. I particularly decided to take roti cane [cane bread], an Indian-middle-eastern-based meal which is known in Pontianak.

Dining Room (the second room)
Dining Room (the second room)
Roti Cane
Roti Cane

Here too, actually I and my brother thought the same thing. People should be confident enough to sit and eat at the round tables in the room. Most people wore shirts, formal dresses, and some even wore gowns. People were welcomed to sit and eat anywhere in the place actually, but hey, who were able to stop the feeling of ‘eliteness’? We didn’t care though; the foods were hilarious, ha ha ha…

The last room was a big hall that could cover more than two hundred people. There were meals and drinks. Perhaps, ‘common’ people decided to sit and eat in this room better than the two previous rooms. Well, you didn’t have to speak, sit and eat formally and in particular manner, right? You can let your children running around the hall in mouthful of beef… ha ha..

Nice hall though. Dayak and Malay decorations and ornaments were beautiful stuff. Don’t forget about the meals and entertainment. On the stage some singers (or anyone who wanted to present some songs, freely) gave their best. Some even danced on the floor, with dangdut rhyme and a single keyboard player. In other words, this hall was placed for a really naturally public room.

Public dining room
Public dining room
The Ceiling
The Ceiling
A Christmas tree and the stage
A Christmas tree and the stage

On the corner of one wall, on the right side of the stage, I took a picture of ornaments on the wall with a stand piano. It looked luxurious.

Wall ornaments and a stand piano
Wall ornaments and a stand piano

Enough for the building, let’s go to the foods!

Three main foods were presented in the hall; bakso, lontong sayur, and rice together with side dishes: meats and vegetables. Each type of the dish was presented in two different stands, including the drinks. (Mention it, cokes, teas, plain mineral waters). Don’t forget, the Christmas cakes!

Bakso
Bakso Stand
Lontong sayur
Lontong sayur
Rice and side dishes
Rice and side dishes

It was totally all you can eat! You could come back for the dinner though…

In brief, it was totally awesome for you who were a foodwhore! Especially bakso, it is always be the most popular food in Pontianak (perhaps in Indonesia). No wonder, people would kill to stay on the line in front of the cooks to deliver the food for them!

Well, if you’re lucky, for the next four years from now, you can still experience this custom and culture, as long as today’s West Borneo’s governor still will be held by the same person. Full of hope, for the next governor, this culture will be still kept and maintained. I really don’t care if the governor won’t be a Christian anymore, as long as he/she will hold the ‘party’ in Id (Idul Fitri), Christmas or any public holiday … J

Singkawang in Square Shape


My friend just came from Germany – he’s an Indonesian who works in a very famous European car company – to visit his family in Pontianak (West Borneo, Indonesia) and to take a break for a while. As the result, he gathered around his companies and old partners in crime forcefully and he was serious in that. He succeeded in forcing them – including forcing his friend to also have a break from Batam just to come to Pontianak – to gather around and had some fun for some time.

We did the karaoke thing, had some dinner, and some more chatting with much more sharing. Well, it was decided further than that we had to take a trip before he went back to Germany. Travel therefore means more time together to have some more chatting while enjoying the trip itself.

Indonesia is an archipelagic country with the longest coastal line in the world. It means that we can find beaches in almost everywhere we go and of course high places as the perfect partner for beaches. West Borneo actually is not a tourism city as we know as it is well-known for other cities in Indonesia such as Bali, Yogyakarta, Bandung or even Jakarta. West Borneo is more a living business city. However, hey tourism is a business thing too, right? So, it is no wonder, we can easily find any tourism spots as well in West Borneo (though as I mentioned previously, perhaps the spots are not as well-known as Bali is). One of the most famous tourism spot in West Borneo is a city called Singkawang. I suppose all people or citizen of this province will suggest any tourist to visit this place.

There is a significant growth and development in Singkawang’s tourism business lately. The local government seems able to raise the city’s potential. There are more and more beaches for tourism spots, restaurants and cultural events held to draw and attract the tourists. The city is also succeeded becoming one of the favorite nationally broadcasted television shows in travelling program. It is also famous for its’s festivals such as Chinese New Year’s Day or Chinese Lantern Festival, since Singkawang is inhabited by Chinese ethnic group majorities.

As I said previously, most Indonesian tourism spots offer beaches and high places, it also works for Singkawang. So, there we go… eight of us went travelling. A rented car is suggested, though some also prefer motorcycles and public transportation for a three-to-four-hour trip.

We decided to have a lunch first as we arrived in Singkawang. We chose a restaurant in a high place; it is located in a hill actually. Batu Mas (literally ‘Golden Stone’) restaurant is placed right in the ‘area’ around the hill. We could find villas and more restaurants around the area.

As stated as the title of this writing, I purposefully put the images and photos in square shape. The photos are Instagram-effect-edited and Polaroid-like just for the sake of art… ha… Don’t worry anyway, I’ll put some more professional photos from the professional camera also later on.

Here we were in Batu Mas Restaurant

It was a-two-story building where the view was very stunning. However, we found out that the second floor would be better in the view and perhaps more private for eight of us. Though was charged for 10%, the result was satisfying.

First floor
A ten-percent charge
Second floor
Second floor’s view 1
Second floor’s view 2

Here’s some description in video:

Here come the meals …

Tofu and Green Bean … Yummy

Tofu and Green Bean

Seafood and Vegetables: ‘Pakis’ and Vegetables Soup

Pakis and Soup

More soup: mushroom soup and of course Indonesian can’t have meals without chili spices….

mushroom soup and chili spices

After having lunch, there was a quite interesting conversation. It was about table manner. Excuse us for having different table manner, or perhaps it was just our lack of table manner knowledge. Our common thought (in Indonesia) after having meals we should put the spoons and forks upside down and cross them. It means that we have enough.

Our version of after-meal-table manner

However, our Germany friend told us that after having meals, German (or Europeans) usually put the spoons and forks in the normal position side by side and without put them upside down. Well, it was quite something. All the seven later on would do this after we have meals 🙂

European style…ha ha

Next trip was to another high place. It was actually a new tourism spot and is still in the development. There is ‘Puncak’ in Bogor and ‘Kaliurang’ in Yogyakarta, and now West Borneo has a new one, it is called ‘Rindu Alam’ (literally ‘Miss the Nature’).

Rindu Alam higplace… We could see the sea with is beaches from up here…
Mountainous Rindu Alam

I tell you, the view of the sky was expensive…

Blue ….

Road to Rindu Alam:

Rindu Alam:

We continued to another side of this high place, we went to the forest. Well, it’s Borneo; we will easily find beautiful forests everywhere.

Next destination was beaches! The beaches are actually still in a hell of huge area. More than three beaches and tourism spots alike are included in the area (Including ‘Simping island’, ‘Sinka Zoo,’ and some more beaches). We visited ‘Tanjung Bajau’ and ‘Palm Beach’ in a particular purpose, to catch the sunset!

Taraaa…. Welcome to Tanjung Bajau beach

This beach is famous for its icon: a giant statue of Godzilla-like creature fighting with a giant squid. It was an interesting fact, because it seemed like a must that in any tourism spot there should be statues. Along our trip, we could find statues and more statues. Funny statues, serious statues, abstract statues, or even unimportant statues. It started with the statues of winged-elephants almost every corner near the Tanjung Bajau beach. In Tanjung Bajau itself we found giant statues of Godzilla (which we did not even recognize what it symbolized), crab, turtles, penguins and Mermaid. Oh, right, back to Rindu Alam forest, we could find giant statues of iguana, turtle and elephant as well…

Roarrrrr…Godzilla…what the….
Shot by Lucy Wong

Mermaid gigantic statue!

See what I said, statue. Anyway, enjoy the view of the sky though.

Mermaid and breath-taking sky

Hey… what’s this..?? Ha… please forgive our English..

Hmmmmm …..

Weeee…. They also had Ferris wheel. I always wanted to have a picture with a Ferris wheel as the background. They had a funfair including marine sport, banana boat and stuff.

Ferris Wheel
Shot by Lucy Wong

It was getting darker. Time to take more pictures … Enjoy!

Shot by Lucy Wong
Shot by Lucy Wong

Walked a little bit, and we’ve got ‘Palm Beach..

Palm Beach in the afternoon

And this was the main show … Sunset at Tanjung Bajau and Palm Beach

SUNSET

Was it time to go home?

Wait, we were hungry… We went to the Singkawang downtown to find some food. Chinese food would be great.

As the result, we visited one of the famous restaurant in the city. It was a Thai-Style restaurant with the literal name ‘Rumah Makan Ala Thai’ or ‘Thai-Style Restaurant,’ ha ….

Rumah Makan Thai

The cooks and their spices…. bunch of spices…

The cooks and their spices

Though the restaurant called itself Thai-style, the food was actually various from locals to Chinese food.

The menu in three languages
Shot by Lucy Wong

So, there we go… We had chai sim, Fu Yung Hai, Tom Yam, and more ….

The meals of Thai and Chinese

Don’t forget the rice..!

Rice of course

We were full, and we had learned the European table manner then… ha ha

Full, empty plates, and table manner…

Time to go home then… We had around for hours or so, because it was at night we chose not to be hurry. We stopped in a coffee shop in ‘Sungai Pinyuh’ around one hour to Pontianak to have a cup of coffee… Nothing more relaxing than a cup of coffee with friends after a journey..

Coffee with friends after a long journey

Hey, I still have more photos from a more professional camera. But for this moment, please enjoy these images and our journey …

Pulau Kabung [Kabung Island] Part 1: A Tiny Hidden Heaven


It is a tiny hidden haven placed in an island in West Kalimantan [Borneo], Indonesia, a fisherman’s village with unique and surprisingly hospitable people and culture. Bugis ethnic group lives in this island in harmony. They also produce clove and nutmeg, which makes the island smells good and colorful with the clove fields. Enjoy!

1. Clear and shallow water and tens of bagans [fishing buildings] in the middle of the sea. One can walk from the island around a hundred meter to the sea as if she or he is walking on the water.

Clear Water
walk on the water
the Bagan

2. Very clear water.

clear water
Peaceful
Dancing
Watershot

3. Fabulous sky in the afternoon preceding the sunset.

waiting for the sunset in the small port, surrounded by colorful sampans and tens of bagans
still waiting….
wait……….
PERFECT ……………… !!!

These pictures are only a few of tens photos i have. I’ll put more pictures and stories in part 2 … Be patient and enjoy the view …

Bakso dan Swike


Ketika anda berada di Pontianak, bila anda menanyakan jenis makanan apa yang paling populer bagi warga, hampir jelas jawabannya adalah bakso dan nasi goreng. Memang khusus bakso sendiri telah populer tidak hanya di Pontianak, tapi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Bakso dan soto memiliki banyak varian dan taste yang beragam bergantung pada daerah dan pengaruh selera bahkan budaya masyarakat dimana makanan itu berada. Kemudian, saya sengaja browsing di Internet dan mencoba mencari begaram literatur serta informasi lisan mengenai asal muasal makanan favorit ini. Seperti saya duga sebelumnya, secara linguistis, bakso mungkin sekali berasal dari negeri China yang dibawa masyarakat etnis Tionghoa beratus-ratus tahun yang lalu ke daratan Indonesia dari negara asalnya. Kata ‘bak’ yang berarti ‘daging’ juga dipakai pada jenis makanan lain yang juga cukup dikenal di Indonesia, seperti bakpao, bakmi atau bakpia. Di Pontianak sendiri, dimana budaya Tionghoa cukup terpelihara: Chinese food, bahasa Tionghoa (dialek Tio Ciu, Hakka (khe), dan Mandarin tentu saja), upacara budaya dan keagamaan (termasuk terpeliharanya keberadaan ajaran dan penganut Budha (Theravada dan Mahayana), Kong Hu Cu, Taoisme), serta beragam jenis makanan dengan citarasa asli Tionghoa masih sangat kental. Oleh sebab itu, makanan-makanan yang memang pada mulanya memang berasal dari negeri China tersebar di seluruh Pontianak. Misalnya di sepanjang Jalan Gajahmada atau Tengku Umar (kompleks Pasar Mawar (dulu dikenal sebagai pasar sentral)), kita dapat menemukan beragam jenis makanan seperti mie tiaw, tau swan, nasi cap chai, ko kue, chai kue, bubur ikan, bakso tahu asin, mie kepiting dan sebagainya dan sebagainya …

Namun kemudian saya kembali bertanya-tanya, bukankah di daerah dengan budaya Tionghoa asli yang masih terpelihara, beragam makanan yang berasal dari China itu dapat dengan baik dibuat dan dijual oleh masyarakat Tionghoa itu sendiri? Nah, yang unik, ini tidak terjadi khusus pada makanan bakso dan swike …

Bakso dan Swike (dengan bahan dasar daging kodok) walau sebenarnya merupakan jenis makanan Tionghoa, di Pontianak cukup dipuaskan oleh keterampilan para penjaja etnis Jawa. Bakso diakui sebagai makanan favorit semua etnis masyarakat tanpa memandang perbedaan sosial ekonomi. Para penjual mayoritas berasal dari etnis Jawa dengan beragam nama dan ‘gelar’, seperti bakso Edi Solo, Bakso Setan, BaksoL, Bakso PSP, Bakso Johar, Bakso Se Loy Siantan dan ssebagainya …

Bakso Pontianak biasanya terdiri dari mie putih, mie kuning, sawi dan kecambah, serta tentu saja andalannya pada bola-bola daging yang menjadi ciri khasnya. Misalnya bakso yang berisi telur, bahkan pada Bakso Setan di daerah Jalan Danau Sentarum, bulatan daging berisi cabe rawit yang pedasnya luar biasa …

Ini dia Bakso Setan …

Begitu juga dengan swike. Meskipun bisa dikatakan swike adalah jenis makanan yang berasal dari etnis Tionghoa dan tidak semua golongan masyarakat yang dapat dan mau menikmati (biasanya karena pandangan dan larangan religius), swike yang paling populer dan menjadi favorit warga Pontianak (tentu saja yang menjadi konsumen terbesar swike berasal dari etnis Tionghoa) adalah penjaja dari kalangan etnis Jawa. Yang paling terkenal adalah Swike Pak Sapto di daerah dekat Gereja Katedral Pontianak …

Penulis dan Swike …

Ini dapat dikatakan bahwa meski pada asalnya, Bakso dan Swike adalah makanan asli warga Tionghoa, tetapi setelah beragam perubahan dan sejarah yang mewarnainya, kini kedua jenis makanan tersebut malahan populer dibuat dan dijual oleh warga non Tionghoa, terutama dari etnis Jawa. Ini juga menunjukkan bahwa masalah rasa tidaklah mengenal etnis atau golongan masyarakat tertentu. Siapa saja dapat menjadi ahli dalam meracik masakan, menikmati, atau berbisnis di bidang tersebut.

Selamat menikmati …