Setelah menghabiskan waktu dan bernafas lega di Mimi Land, pikiran mulai terbuka dan bersiap menyambut kesenangan yang lebih besar. Rombongan pelarian pun akhirnya melanjutkan perjalanan ke Singkawang untuk mengisi perut dan mencari tempat bernaung.
After spending precious time and breathing with relief in Mimi Land, our minds were starting to open and getting ready for more excitement. The escapees continued the trip to Singkawang to fill the hunger and find a place to stay the night.
Salah satu anggota pelarian kami dari awal sebenarnya telah menginginkan untuk makan di salah satu restoran/tempat makan yang cukup terkenal di Singkawang yaitu Ala Thai. Beberapa kali mengunjungi Singkawang, restoran ini adalah salah satu tujuan utama untuk mengisi perut. Namun begitu ternyata kali ini tidak semua anggota sedang berminat untuk makan di Ala Thai karena telah memiliki rencana tersendiri, meskipun tetap saja kami memesan makanan yang ‘lebih ringan’. Meski nama restorannya sepertinya jelas, yaitu merujuk pada makanan ala Thailand, tidak semua makanan dari Thailand. Mereka juga menyediakan makanan ala Chinese. Hanya saja, bukan tanpa alasan nama restoran ini adalah Ala Thai, karena silahkan coba Tom Yam nya yang dijamin memiliki rasa khas dan lezat.
One of our members of the get-away party actually wanted to have dinner in one of the famous restaurants in Singkawang, Ala Thai, so bad. Every time we visited Singkawang, this restaurant almost always became our main destination. However, that day wasn’t our main interest to have some meals there, perhaps because we had our own different plan though still we ordered some ‘lighter’ meals. Even though it has the obvious name, the restaurant also offered another menu other than Thai which was Chinese food, still please have a try for a bowl of Tom Yam. It had a distinctive and delicious taste.
Salah satu hal yang paling saya sukai di beragam restoran di Singkawang, terutama restoran dengan dasar Chinese food, adalah beragam bumbu dan peralatan yang bertaburan di meja juru masak
One of the most interesting things that I usually pay attention to, especially any Chinese food restaurant, was that the various bowls of spices and equipments lied on the cook’s table.
Bukti kelezatan Tom Yam Ala Thai. Mangkuk yang kosong.
The proof for the delicacy of Ala Thai’s Tom Yam. An empty bowl.
Setelah selesai makan, kami sebenarnya masih melanjutkan untuk ‘makan besar’ di tempat lain. Hal lain yang selalu saya perhatikan adalah toko-toko penjual buah-buahan yang tersebar di kota Singkawang, dimana walau menjual buah-buahan dan makanan berbahan dasar buah-buahan (permen, manisan, dsb) hampir semua toko buah tersebut juga menjual uang kertas untuk keperluan upacara keagamaan (Buddha, Taoisme, Konghucu). Mungkin bagi orang-orang keturunan Tionghoa atau penganut agama Tridharma hal ini merupakan hal yang wajar-wajar saja, namun bagi saya ini tetap saja unik. Mungkin karena kesannya ‘gak nyambung’. Bukannya uang kertas sembahyang itu harusnya di toko yang khusus menjual peralatan ibadah? Jawabannya tidak. Ternyata saya saja yang tidak paham hal ini …
After having dinner, we actually went to have the ‘real dinner’ in different place. Another thing that I always paid attention to was the fruit-shops spread in Singkawang where other then selling fruits and fruit-based food (candies, sweets, preserved food, etc.), they also sold ‘fake paper money’ used as religious ceremony (Buddhism, Taoism, Confucianism). For the Chinese people, it was pretty common, but well, not for me. It felt not in proper place to sell this money in the fruit-shop, though it was my lack of knowledge.
Uang kertas yang digantung dilangit-langit toko. Berwarna merah dan keemasan.
Red and golden paper-money hung on the fruit-shop ceiling.
Setelah makan, rombongan kami menuju ke tempat penginapan yang ternyata adalah sebuah rumah kost. Rombongan kami sengaja berburu tempat yang murah yang dapat dijadikan tempat menginap, walau bagi yang mengharapkan sebuah hotel, rumah kos ini tentu saja sulit untuk dikatakan ‘nyaman’. Toh, walau kami serombongan berhimpitan, sebuah tempat untuk meluruskan punggung cukuplah nyaman. Apalagi kebersamaan bersama sahabatlah yang membuat malam kami seru dan penuh dengan tawa.
After having a ‘full dinner’, the party went to a place to stay which was in fact a boarding house. Perhaps smaller rooms and less comfortable than a hotel, but it was a place to put our backs and take a rest. Though we had to sleep at close quarters, our togetherness was the thing that made the excitement and laugh.
Hal unik di rumah kos ini adalah kentalnya nuansa budaya Tionghoa, dimana kita dapat melihat semua pernak-pernik bergaya Tionghoa hampir di semua tempat.
One unique thing was the strong Chinese cultural nuance in almost all of the places.
Misalnya saja di pintu kamar kami terdapat sebuah lilin sembahyang dan stiker bertuliskan karakter mandarin tertempel dimana-mana.
On our room’s door for instance, there was a Chinese candle for praying and were also stickers in Chinese characters. They were also stuck on different location (mirrors, wardrobe, etc.)
Ada pula sebuah hiasan bunga serta kursi yang sangat kuat karakter keTiongkokannya.
There was also a flower centerpiece with another Chinese script on it and a very Chinese-looked chair.
Begitu pula sebuah rumah tepat di depan rumah kos kami yang memiliki aksesoris Tionghoa yang kental, dan bahkan ketika malam tiba pun, lampion dihidupkan walau saat itu bukanlah masa perayaan festival Imlek atau Cap Go Meh.
It was including the house right in front of our boarding house which had all Chinese accessories. Even when the night came, it had Chinese lanterns on though it wasn’t any of Chinese special occations.
Hari berikutnya, yaitu hari Minggu, bertepatan dengan perayaan Minggu Palma, perayaan umat Katolik pada masa pra-Paskah. Dari awal rombongan kami ini (tentu saja yang beragama Katolik) memang berencana untuk menghadiri misa di gereja Katolik di Singkawang. Pilihan utama jelas gereja Santo Fransiskus Asisi. Sebuah gereja Katolik yang besar dan telah dibangun sejak masa kolonial Belanda. Meski saya belum pernah secara khusus mencari informasi mengenai gereja Santo Fransiskus Asisi Singkawang ini, namun ada beberapa informasi yang saya dapatkan.
The next day, on Sunday, was also a Catholic celebration of Sunday Palm. Since the very beginning, our party (who hold Catholic of course) had a plan to go to the celebration. The main destination was Santo Fransiskus Asisi Church which had been built in the colonial era. Though I’ve never been specifically making any research about this Church, there was some information I got.
Menurut catatan paroki, sebenarnya tahun 1873 sudah ada yang dipermandikan oleh pastor Belanda J. De Vries yang bermisi di Singkawang. Gereja Katolik pertama yang didirikan di Singkawang dibangun pada tahun 1905 di sebuah rumah pastor yang sederhana. Tahun 1905 ini juga merupakan tahun tercatat sebagai awal pembangunan gereja Santo Fransiskus Asisi. Dari informasi ini, dapat dijelaskan bahwa rumah pastor yang sederhana itulah yang kemudian terus dibangun menjadi sebuah gereja yang besar seperti saat ini.
According to the parish memoire, in 1873 actually there were some people baptized by a Dutch priest J. De Vries who had the mission in Singkawang. The first Catholic Church which was built in Singkawang was recorded in 1905 in a small and simple priest’s house. This year was also a recorded year of the first construction of the church. Based on this information, it can be concluded that the priest’s house was developed into today’s big church.
Minggu Palma adalah sebuah perayaan sebagai kenangan atau peringatan akan Yesus yang diarak dengan menggunakan daun palma.
Palm Sunday is a ceremony or celebration as a memory or remembrances of procession of Jesus by using the palm leaves.
Pengarakan masuk menuju ke dalam gereja.
The palm procession entering the church.
Arsitektur bangunan menunjukkan kekhasan gereja-gereja Eropa, terutama Belanda, yang kuat dan unik.
The building’s architecture showed the special characteristics of European churches, especially the Dutch, which was strong and unique.
Begitu juga bangunan di sekitar gereja, termasuk biara, yang memiliki ciri khas ke-Eropaannya.
The European-styled buildings could be seen also in different buildings surrounding the church, such as the monastery.
Tak lama, kami pun sudah bersiap-siap meninggalkan Singkawang. Namun bukan untuk langsung pulang ke Pontianak, sebaliknya kami akan menuju ke tempat wisata utama lain yang masuk dalam rencana kami, yaitu Riam Tikalong. Sebuah lokasi wisata air terjun yang terletak di daerah yang lebih tinggi, atau pegunungan. Suasana akan menjadi sangat berbeda dimana sebelumnya di Singkawang lebih terkenal dengan wisata pantai, kami kemudian menuju ke daerah yang lebih tinggi dengan wisata air terjunnya. Itulah yang disebut sebagai cinta pada keindahan dari laut naik ke gunung. Keindahan ada dimanapun kita berada.
It didn’t need some time, we’d been ready to leave Singkawang. However, we didn’t intend to straighty go home to Pontianak, we would visit another main tourism spot included in our plan instead, Tikalong Waterfall. It was a waterfall located in a higher place (mountain). The atmosphere would be very different to Singkawang where the beach tourism was. That was what we called as love to the beauty from the sea to the mountain, beauty lies everywhere.
Dari Singkawang kami menuju arah pulang ke Pontianak, namun sesampainya kami di Sungai Pinyuh (sekitar 2 jam dari Singkawang) kami langsung menuju ke Tikalong dengan rute yang berbeda. Dari Sungai Pinyuh membutuhkan sekitar 2 sampai 3 jam. Jadi pada dasarnya jarak dari Sungai Pinyuh ke Tikalong kurang lebih sejauh Sungai Pinyuh ke Singkawang. Beberapa kali kami harus bertanya ke warga sekitar, karena meski Riam Tikalong cukup dikenal, beberapa teman yang pernah mengunjunginya lupa arah dan sisanya belum pernah menjejakkan kaki barang sekalipun.
From Singkawang we drove to the course of Pontianak, however when we achieved Sungai Pinyuh, we chose different route. From Sungai Pinyuh it needed about 2 to 3 hours trip, so the trip to Tikalong from Sungai Pinyuh was equal to the trip to Singkawang. We had to ask to people on the way few times since eventhough this location was pretty famous, some friends in our party who had visited the place forgot the direction and some others were never been to that place even once.
Riam Tikalong terletak di Desa Karangan, Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak. Semua anggota pelarian ini mencoba menahan rasa excitement yang muncul. Kami khawatir perjalanan panjang kami tidak terbalas karena mendapatkan air terjun ini tidak seindah yang kami harapkan. Sepanjang perjalanan sebenarnya kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Hanya sekedar hutan dan pepohonan, namun diselingi oleh bukit-bukit dan hamparan sawah atau area kosong yang sangat luas. Langit yang cerah namun bersahabat seakan menyinari dan memantulkan pemandangan indah tersebut dengan awannya yang tercetak berarakan. Sialnya, ini juga yang membuat harapan kami terus melambung tinggi.
Tikalong waterfall was located in Desa Karangan, Kecamatan mempawah Hulu, Landak Regency. All members of the escapee actually tried to push back the excitement, in case the fact wouldn’t fit our hopes. During the trip however, we were entertained by the scenery. Though it was only forests and trees besides the road, there were rice fields and large empty areaput in between, and it made it beautiful. The clear but friendly sky looked like shine over the scenery.Alas, this what made our hope rising high though.
Yang perlu diperhatikan adalah jalanan yang meski pada dasarnya dalam kondisi baik (hanya beberapa kilometer saja yang berlubang), namun kondisinya tidak rata sehingga kerap terjadi gundukan yang membuat kendaraan naik turun. Saran: hati-hati dengan kecepatan, terutama juga jalan cukup sempit. Namun secara keseluruhan, perjalanan cukup menyenangkan. Rumah-rumah penduduk pun dapat kita temui di kiri kanan jalan.
What we need to pay attention clearly to was the road though it was in good condition (there were some hole in some kilometres only), the surface wasn’t level enough. There woul be hard ups and downs. The suggestion is becareful with the speed, also the road was quite narrow. Novertheless, the trip was fun.
Akhirnya sekitar 2.5 jam kami sampai di tujuan. Gerbang wisata air terjun terletak di sebelah kanan. Disana kami memarkirkan kendaraan dan bersiap memasuki Riam Tikalong. Suasana sejuk langsung terasa, yang membedakan dengan wisata pantai. Biaya masuk yang tercatat adalah Rp. 30.000 satu rombongan kami (7 orang), termasuk biaya parkir.
We arrived for 2.5 hours. The entrance gate was on the right. We parked the car and went to Tikalong waterfall. We sensed the cool breeze first thing first, it made the big difference to the beach tourism. The recorded entrance fee was Rp. 30.000 (7 persons) only including the car parking.
Kondisi jalan menuju ke Tikalong dan jalan lain yang menanjak menuju ke daerah lain.
The road condition to Tikalong and another way to another area from Tikalong.
Kami sangat lega dan bersyukur, karena perjalanan kami tidak sia-sia. Harapan kami yang semula tinggi ternyata memang pantas dengan apa yang kami dapatkan di sana. Dari jalan masuk saja, udara dingin dan riam-riam kecil air pegunungan sudah membuat suasana cinta keindahan di hati kami berbunga-bunga.
We felt the relief flowed to our veins in reaching the spot. Our trip wasn’t a waste or empty hope. The beauty met our standard of beauty. Our love of beauty was blooming.
Perjalanan dengan kaki (sangat disarankan menggunakan sendal jepit) tidak jauh, mungkin hanya sekitar 100 meter dari gerbang ke air terjun. Pandangan pertama yang terlihat adalah riam-riam air yang jauh lebih kecil dari air terjun utama. Namun pemandangan riam air yang bergejolak di sela-sela batu ini saja sudah cukup menentramkan pikiran dan sebaliknya membuat semangat di hati menjadi besar.
On foot (suggested wearing slippers) wasn’t far, about a hundred meter from the entrance. The first view was the small river rapids much smaller than the main one, still this scenery made the peace come inside our mind while our hearts were in turbulence of spirit.
Bangunan kecil berwarna hijau diatas adalah sebuah pondok yang dapat digunakan untuk berganti pakaian. Hanya saja kondisinya tidak begitu baik dan kotor. Ada baiknya membawa air sendiri untuk membersihkan tubuh anda.
The small green hut over there was used as rooms to change the clothes. However, the condition wasn’t good enough, it’s dirty. Better to bring your own water to clean yourself.
Air terjun ini memiliki tinggi sekitar 5 meter dengan kolam dibawahnya yang meski tidak terlalu dalam terlihat sangat menyenangkan untuk bermain-main di dalamnya. Saat itu suasana belum terlalu ramai sehingga keindahan dapat terangkai dengan sempurna.
This waterfall was 5 meter tall with the lake under it. Though the lake wasn’t deep, it looked very fun to put yourself into it. anyway, it wasn’t crowded so the beauty was perfectly captured.
Kami tidak mau langsung membasahi diri, karena keindahan air terjun masih terlalu sayang untuk dilewatkan mata dan lensa kamera kami. Ada jalan yang terjal untuk menuju ke puncak air terjun. Hanya saja tidak semua jalan setapak jelas bentuknya. Sudah ada bagian yang menjadi sangat licin dan terjal, sehingga jalan untuk mencapai puncak air terjun cukup menantang. Perlu beberapa orang untuk saling bantu.
We didn’t want straightly to jump into the water because the beauty of the waterfall was still too good to be missed by our eyes and camera lenses. There were some paths to reach the top of the waterfall. However, they were steep and quite slippery. Please be careful, and ask friends to lift you up.
Memanjat dan turun dengan sedikit kesukaran pun terbayar dengan nuansa berbeda bila air dilihat dari puncaknya.
Climbing and descending the paths was equal to the different nuance we got when we were on the peak of the waterfall.
Because we were cool
Sudah saatnya menceburkan diri ke dalam kolam, bahkan melompat dari air terjun. Ada sensasi luar biasa ketika berada di bawah derasnya air terjun, atau mengambang di permukaan kolam sambil menatap ke kanopi pepohonan. Ada rasa damai luar biasa disana. Ketika air jatuh, kebebasan dan kedamaian naik.
It’s time to jump to the water. There was a sensation swimming or standing under the falling water, or floating on the surface of the water of the lake. There was a peaceful and free feeling while floating on the surface of the water looking at the trees canopy. When the water fell, the freedom and peace rised.
Biasanya sembari bermain air, perut akan terasa lapar. Kebanyakan pengunjung datang membawa makanan sendiri. Saran dari kami, tolong jangan membuang sampah apapun di sana. Tempat ini terlalu indah untuk dikotori. Silahkan bawa pulang sampah-sampah plastik dan sebagainya.
Usually while swimming and having fun, we would feel hungry. Most guests brought their own food. Please don’t litter the place. Bring the plastic and the garbage back for the beauty of the place.
Girls and selfie
Setelah selesai menikmati keindahan yang luar biasa, kami duduk sejenak di sebuah warung untuk sejenak menenangkan diri dan menenggak kopi sebelum akhirnya harus kembali memacu kuda mesin kami kembali ke Pontianak.
After enjoying the beauty of the waterfall, we sat down for a while to have some coffee before preparing to go home to Pontianak.
Sampai bertemu kembali dengan pelarian kami selanjutnya.
See you on the next get-away.