Di kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, terdapat sebuah monumen yang dikenal dengan nama Tugu Digulis. Namun begitu, tidak banyak orang yang tahu apa arti Digulis itu sendiri padahal letak Tugu Digulis sendiri di kawasan yang termasuk pusat kota dan cukup dikenal masyarakat. Bahkan bisa dikatakan pula bahwa Tugu Digulis adalah simbol atau maskot kota Pontianak selain Tugu Khatulistiwa. Ini dikarenakan letaknya yang strategis sehingga mudah dikunjungi atau dilihat dan membuatnya lebih ‘terawat’ dibandingkan Tugu Khatulistiwa. Tugu Digulis yang terletak di Bundaran Universitas Tanjung Pura Jalan Jend. Ahmad Yani ini menjadi salah satu spot yang penting pula bagi siapapun yang berkunjung ke Pontianak. Baik para traveller, wisatawan, atau para pejabat Negara karena untuk menuju pusat kota dari bandara Supadio, siapapun pasti melewati Tugu ini.
Beberapa wisatawan mancanegara asal Thailand yang berkunjung ke Pontianak dengan ditemani oleh saya suatu kala pernah menanyakan kepada saya mengenai sejarah dan arti (baik semantis maupun simbolis). Ini dikarenakan lokasinya yang sangat menojol sehingga untuk bepergian ke beragam lokasi di Pontianak, kemungkinan melewati tugu ini untuk beberapa kali sangat mungkin terjadi.
Tugu Digulis juga dikenal sebagai Monumen Sebelas Digulis, atau Tugu Bambu Runcing, atau Tugu Bundaran Untan (Universitas Tanjung Pura) oleh warga setempat. Tugu dalam bahasa Indonesia didefinisikan sebagai ‘tiang besar dan tinggi yang dibuat dari batu, bata, dsb.’ Kata tugu kemudian erat kaitannya dengan monumen, yaitu sebuah bangunan yang digunakan sebagai peringatan sebagai tanda untuk mengingat peristiwa penting, peristiwa bersejarah, atau untuk menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Tidak semua monument adalah tugu. Namun hampir semua tugu adalah monumen. Tugu juga kerap digunakan sebagai simbol dan ciri khas sebuah tempat. Misalnya Tugu Monas (Monumen Nasional) sebagai ciri khas Daerah Ibukota Jakarta, Tugu Pal Yogyakarta, dan sebagainya.
Tugu Digulis diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat H. Soedjiman pada tanggal 10 November 1987. Berbentuk sebelas tonggak menyerupai bambu runcing yang berwarna kuning polos. Pada tahun 1995, monument ini dicat ulang dengan warna merah putih, hanya saja kemudian pada tahun 2006 dilakukan renovasi pada monumen ini hingga berbentuk mendekati bentuk bambu runcing asli seperti pada saat ini dengan penambahan air mancur berwarna-warni yang membuatnya terlihat lebih cantik. Pontianak pun kemudian memiliki bangunan dengan air mancur lagi setelah beberapa bangunan dan spot menempatkan air mancur. Air mancur pun seakan juga menjadi ciri khas kota Pontianak.
Monumen ini didirikan sebagai peringatan atas perjuanagn sebelas tokoh Sarekat Islam Kalimantan barat yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Barat karena khawatir pergerakan mereka akan memicu pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan. Tiga dari sebelas tokoh tersebut meninggal pada saat pembuangan di Boven Digoel dan lima di antaranya wafat dalam PeristiwaMandor. Nama-nama kesebelas tokoh tersebut kini diabadikan juga sebagai nama jalan di Kota Pontianak. Kesebelas pejuang itu antara lain: Achmad Marzuki, Achmad Su’ud bin Bilal Achmad, Gusti Djohan Idrus, Gusti Hamzah, Gusti Moehammad Situt Machmud, Gusti Soeloeng Lelanang, Jeranding Sari Sawang AmasundinaliasJeranding Abdurrahman, Haji Rais bin H. Abdurahman, Moehammad HambalaliasBung Tambal, Moehammad Sohor, dan Ya’ Moehammad Sabran.
Bambu runcing diambil sebagai bentuk simbolis perjuangan bangsa Indonesia. Selain karena ‘legenda’ yang menyatakan bahwa banyak pahlawan Indonesia merebut kemenangan dengan mengandalkan beragam senjata, mulai dari senapan dan meriam rampasan perang, senjata tajam (termasuk alat-alat pertanian dan pertukangan), serta kayu dan bambu yang ditajamkan untuk dijadikan senjata, bambu juga merupakan simbol kekuatan supranatural yang membuat rakyat pada saat itu bersemangat untuk merebut kemerdekaan (ini bisa kita lihat dari permainan supranatural/magis di nusantara yang melibatkan penggunaan bambu sebagai media roh).
Kata Digulis kemudian sebenarnya diambil dari kata Digoel dari sebuah tempat di Papua atau Irian Barat saat itu, yang merupakan wilayah Hindia Belanda yang digunakan sebagai tempat pembuangan atau pengasingan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sekarang merupakan sebuah Kabupaten di Papua yang dikenal dengan sebutan Digul Atas.
Dengan ejaan yang paling mutakhir, kata Digoel dari BovenDigoel menjadi Digul. Kata Digul dalam bahasa Indonesia kemudian juga bisa menjadi sebuah kata kerja mendigulkan yang berarti ‘mengasingkan ke Digul’, dan kata benda pendigulan yang berarti ‘proses, cara, dan perbuatan mendigulkan.’
Kemudian kata digul ditambahkan akhiran –is yang sebenarnya merupakan pinjaman dari suffix bahasa Inggris –ist yang berarti ‘orang atau pelaku’. Sehingga kata Digulist merujuk kepada orang yang dibuang atau diasingkan ke Digul. Melihat dari makna dan sejarahnya, maka tugu Digulis merujuk kepada sebelas pahlawan asal Kalimantan Barat yang merupakan Digulists, atau orang-orang yang diasingkan ke Digul.
Potensi wisata di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat sebenarnya masih sangat besar. Hanya saja, masalah fasilitas, infrastruktur, promosi dan kepedulian pemerintah (serta masyarakat) masih rendah sehingga acapkali banyak daserah yang memiliki potensi untuk menjadi daerah wisata menjadi tidak dapat terlihat maksimal.
Pada suatu kesempatan saya mengunjungi sebuah tempat di Kalimantan Barat bernama Rasau Jaya, yang merupakan bagian dari Kabupaten Kubu Raya. Berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Pontianak. Selama ini, Rasau memang lebih dikenal sebagai sebuah kecamatan pusat transmigrasi. Tak heran di Rasau akan banyak dijumpai warga transmigrasi dari suku jawa ataupun sunda, meski juga banyak masyarakat etnis lain seperti bugis dan madura. Rasau juga dikenal sebagai pusat pengembangan agrobisnis terpadu. Rasau menjadi tulang punggung transportasi air antarwilayah kerena keberadaan pelabuhan airnya.
Nah, di pelabuhan airnya inilah saya mencoba merekam hal-hal yang sebenarnya sangat sederhana dan dapat ditemukan di banyak daerah di Kalimantan Barat. Walau sederhana, perjalanan saya ke dermaga Bintang Mas Rasau berhasil mendapatkan beragam keindahan yang tidak disadari. Walaupun sederhana, keindahan itu nyata.
Berikut adalah beberapa bagian dari catatan saya.
Karena jalan yang berkelok-kelok dan cukup kecil, perjalanan biasanya membutuhkan waktu sekitar 60 menit bila menggunakan mobil pribadi. Pemandangan seperti sungau kecil, pondok, dan sawah akan kerap ditemui.
Ketika ingin masuk ke dermaga Bintang Mas, kita akan menyusuri sebuah jalan setapak yang berdampingan dengan sebuah sungai kecil. Sungai kecil ini kemudian akan bersatu dengan Sungai besar.
Kita pun dapat menyaksikan kegiatan dan kehidupan para penduduk di sekitar sungai.
Banyak hal menarik yang dapat kita temukan di sepanjang jalan setapak masuk ke dermaga.
Tak lama, kita akan sampai di Dermaga Bintang Mas.
Di dermaga Bintang Mas inilah, daerah-daerah seperti Sungai Deras dan Teluk Pakedai dihubungkan, meski juga telah terkoneksi oleh jaringan transportasi darat atau jalan. Yang unik dari dermaga ini adalah kapal-kapalnya yang beroperasi selama 24 jam memiliki bentuk yang rendah. Dimana para penumpang akan berdiri atap kapal bersama dengan kendaraan bermotor beroda dua mereka. Untuk menyebrang mereka harus membayar Rp. 5000 saja. Jangan khawatir mengenai keamanan kendaraan anda, karena sudah ada beberapa orang yang memang bertugas membantu para penumpang menaikkan dan menurunkan motor dan menempatkannya di posisi yang benar diatas atap kapal.
Kadang, banyak penumpang yang menunggu waktu untuk disebrangkan dengan berhenti di sebuah warung makan yang terletak tepat ditepi sungai dan dermaga. Warung ini tidak berhenti terus didatangi oleh para penumpang.
Saya pun sempat diundang ke pondok sederhana pak Daeng Bacok di dekat dermaga untuk sekedar beristirahat dan berbincang dengan beliau. Pembicaraan terus mengalir dalam beragam tema. Informasi mengenai Rasau, kegiatannya, serta keadaan sosial budaya pun menjadi bahan yang sepertinya tak habis-habisnya.
Banyak hal indah lagi yang bisa didapatkan di Rasau Jaya. Daerah yang terkenal dengan penghasil buah nanasnya ini juga menghasilkan banyak panenan buah-buahan dan bahan-bahan manakan lainnya. Inilah sekelumit rekaman perjalanan saya di Rasau Jaya. Hampir setiap jengkal daerah di Kalimantan pun sebenarnya tidak luput dari setitik keindahan dari kesederhanaannya.
Akhirnya, kesempatan kembali melakukan sebuah perjalanan untuk sejenak ‘melarikan diri’ dari rutinitas pekerjaan dan kegiatan sehari-hari terlaksana. Pada awalnya, saya dan teman-teman merencanakan untuk sekedar bermalam dan melakukan sebuah wisata pulau, meski ternyata pada praktiknya kami melakukan sebuah perjalanan selama kurang lebih tiga hari.
Berikut adalah catatan perjalanan pelarian tiga hari kami.
1. Hari Pertama
Wisata pulau akhir-akhir menjadi salah satu primadona pilihan para wisatawan lokal atau ‘pelarian’ seperti kami. Paling tidak ada tiga pulau yang cukup populer untuk dikunjungi. Pertama adalah pulau Kabung (silahkan baca tulisan saya mengenaiPulau Kabung), pulau Lemukutan dan pulau Randaian. Ketiga pulau ini terletak di kawasan yang berdekatan dan masih masuk ke dalam wilayah kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Pulau Randaian sendiri sebenarnya adalah pulau yang paling populer dan kerap dikunjungi wisatawan. Hanya saja, walau ketiga pulau memiliki wilayah yang berdekatan, masing-masing pulau memiliki ‘teknik’ tersendiri untuk dapat dikunjungi dan dinikmati. Jiwa petualang dan pecinta alam bebas sangat diperlukan bila anda ingin mengunjungi pulau-pulau tersebut.
Kamipun memutuskan untuk memilih pulau Lemukutan, dengan beragam alasan, salah satunya adalah karena kami memang belum pernah mengunjungi tempat tersebut.
Kami berangkat dengan menggunakan mobil pribadi. Pada awalnya, keberangkatan kami dimulai dengan bertujuh, namun kedua teman kami lainnya memutuskan hanya berhenti di Singkawang untuk melanjutkan perjalanan mereka sendiri. Sedangkan kami terus menuju ke pulau Lemukutan.
Karena ini merupakan sebuah wisata pulau, sudah barang tentu diperlukan jasa penyebrangan. Pada umumnya, ada dua dermaga yang digunakan untuk melakukan aktifitas penyebrangan. Pertama adalah Teluk Suak, yang kedua adalah dermaga penyebrangan Samudra Indah atau juga dikenal dengan sebutan SI. Kedua dermaga memang digunakan untuk menyebrangkan orang dari beragam pulau di area wilayah Bengkayang dan sebaliknya.
Kami berangkat dari Pontianak pukul 5 pagi. Perkiraan perjalanan dari Pontianak ke Teluk Suak atau Pantai Samudra adalah 3 jam. Sebaiknya perjalanan memang awal di pagi hari agar juga dapat sampai awal di dermaga, namun bukan berarti harus tergesa-gesa di perjalanan. Kapal dari dermaga diperkirakan berangkat pada pukul 8 pagi, namun ini tidak selalu dapat dipastikan dengan melihat pada jumlah penumpang yang akan disebrangkan.
Kamipun tidak terlalu memburu waktu karena perjalanan juga merupakan sesuatu yang perlu dinikmati bersama. Kami sempat berhenti di Sungai Duri untuk rehat dan mengisi perut.
Kami melanjutkan perjalanan dan sesampainya di Teluk Suak kami kurang beruntung karena kapal tidak ada yang merapat, mungkin diakbibatkan oleh air yang sedang surut atau beragam alasan lain yang menjadi pertimbangan para awak kapal. Untuk mencapai pulau-pulau di area tersebut, kedua pilihan sangat dimungkinkan. Bila anda kurang beruntung di Teluk Suak, SI adalah pilihan lainnya. Ini kerap terjadi, jadi jangan bingung.
Keberuntungan kami juga belum berbuah hasil ketika sampai di SI, karena kami masih harus menunggu kurang lebih 1 jam karena kapal yang menuju ke Pulau Lemukutan masih belum merapat. Toh, ketika kapal sudah merapat pun ada waktu tambahan untuk bongkar muatan.
Mobil pribadi yang kami gunakan untuk perjalanan dari Pontianak diparkirkan di lahan jasa parkir yang cukup banyak terletak di area Pantai Samudra. Biaya untuk jasa penitipan kendaraan ini sebesar RP. 20.000.
[Alternatif lain untuk mencapai Teluk Suak atau SI adalah dengan menggunakan sepeda motor yang dapat dititipkan di lahan jasa parkir atau menggunakan bus dengan jurusan Pontianak-Singkawang. Biasanya bus berangkat pada pagi-pagi buta, sekitar jam 4 pagi]
Sambil menunggu keberangkatan, kami bersantai sedikit di pantai Samudra. Perlu diketahui, ada perbedaan yang mendasar antara Teluk Suak dan SI. SI selain berfungsi sebagai dermaga pada dasarnya juga merupakan sebuah kawasan wisata pantai. Jadi tidak heran, kawasan berpasir ini juga ramai dikunjungi warga dari berbagai tempat karena keindahannya.
Waktu kami untuk menaiki kapal pun akhirnya tiba. Kapal yang kami gunakan (dan kapal-kapal lain yang menyewakan jasa penyebrangan) adalah sebuah kapal yang berukuran sedang. Menurut informasi yang kami dapatkan, kapal dapat memuat lebih dari 30 orang penumpang. Ini tidak termasuk barang-barang yang dapat dinaikkan ke kapal. Terhitung sebuah kendaraan bermotor juga terlihat dinaikkan ke kapal.
Pada saat kami menyebrang, selain warga dari pulau, terlihat banyak sekelompok anak muda yang juga bertujuan untuk berwisata ke pulau serta sekelompok ibu-ibu yang nampaknya ingin berwisata ke pulau Randaian.
Video berikut merupakan gambaran singkat situasi perjalanan penyebrangan ke Pulau Lemukutan:
Pemberhentian pertama adalah di pulau Lemukutan. Kami harus turun di dermaga Lemukutan sedangkan kapal masih akan melanjutkan perjalanan ke perhentian lainnya.
Di pulau Lemukutan, ada seorang warga yang memiliki jasa penginapan di pulau tersebut, ia adalah pak Andi. Ternyata tidak sulit untuk menemukan Pak Andi, selain karena pulau tidak begitu besar, warga juga sangat mengenal pak Andi. Ia adalah satu-satunya pemilik usaha jasa penginapan di pulau tersebut.
Pak Andi memiliki tiga buah penginapan di sebuah tanjung (daratan di tepian yang agak menjorok ke arah laut). Menurut cerita Pak Andi, usaha yang ia rintis ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bangunan penginapan yang semula hanya satu bertambah menjadi tiga buah. Dari bentuk fisik dan fasilitas, sebenarnya penginapan Pak Andi memiliki kondisi cukup baik. Kamar mandi dan toilet yang memadai dengan air yang berlimpah, pelataran yang luas cukup untuk aktifitas kelompok seperti api unggun atau kegiatan fisik lainnya.
Tempatnya juga strategis, tidak terlalu jauh dari pemukiman warga ketika kita perlu membeli barang-barang keperluan sehari-hari, namun juga tidak terlalu dekat sehingga para pengunjung tidak perlu merasa risau dan khawatir segala kegiatan akan dapat mengganggu warga. Pak Andi pun memiliki dermaga tepat di ujung tanjung, sehingga bila anda beruntung, kapal yang mengantar dan menjemput anda tepat di depan penginapan.
Bangunan penginapan Pak Andi berupa sebuah pondok dengan dua buah kamar dan sebuah pelataran memungkinkannya dapat dihuni sampai lebih dari 10 orang.
Sampai disini, bila anda masih bingung mengenai rute kapal atau motor air dari teluk suak atau SI serta informasi mengenai penginapan, ada baiknya para pengunjung mengambil fasilitas ‘paket’ yang ditawarkan (Informasi mengenai penginapan sangat penting, mengingat penginapan pak Andi adalah satu-satunya usaha pondokan di pulau Lemukutan, maka bisa dikatakan hampir selalu penuh dihuni oleh para pengunjung. Bila tidak book sebelumnya, dikhawatirkan bila pengunjung tidak mendapatkan tempat tinggal di pulau Lemukutan). Kisaran harga per orang adalah Rp.400.000/orang dengan minimal kelompok berjumlah 5 orang. Namun bila rombongan diatas 10 orang, maka biayanya menjadi Rp.300.00/orang. Tentu saja ini akan lebih ringan bila anda datang beramai-ramai. Dengan harga ini, pengunjung sebenarnya sudah mendapatkan semua fasilitas dan kegiatan di pulau Lemukutan. Harga Rp.300.000 – Rp.400.000/orang sudah termasuk perjalanan pulang-pergi (PP) pulau Lemukutan – Teluk Suak sehingga para pengunjung tidak perlu lagi bingung memilih lokasi, waktu atau informasi lain mengenai penyebrangan. Selain itu, biaya tersebut sudah termasuk fasilitas, kegiatan, dan satu kali makan di pulau Lemukutan. Fasilitas dan kegiatan yang terkenal di Lemukutan adalah snorkling dan mengunjungi bagan (bangunan di laut yang digunakan untuk menangkap ikan). Sedangkan pada malam hari, para pengunjung juga dapat menikmati barbeque atau bebakaran ikan segar yang telah disediakan oleh pak Andi.
NOTE: Untuk booking pondokan atau informasi lainnya silahkan hubungi Ivan Handinata: 0852 8299 1811
Pada saat rombongan kami sampai di pulau, kami sudah tidak sabar menunggu sore tiba. Ketika sore menjelang kami diajak oleh para pegawai Pak Andi untuk dibawa ke laut dengan menggunakan perahu menikmati alam bawah laut, ya … Snorkling! Pak Andi memiliki beberapa buah peralatan snorkling, namun tidak semua dalam kondisi yang sempurna, meski cukup baik untuk digunakan. Saran saya akan lebih baik bila kita memiliki dan membawa peralatan sendiri, paling tidak bawalah goggle atau kacamata renang.
Di laut, pegawai pak Andi membawa kami ke sebuah karang yang sedikit mencuat dan terlihat membayang di permukaan, membuatnya menjadi semacam pijakan dangkal untuk para perenang. Dari situ kita dapat melakukan kegiatan diving, snorkling atau sekedar berenang menikmati alam. Tepian yang dangkal dengan susunan terumbu karang yang rumit memungkinkan beragam jenis ikan dan satwa air hidup dengan baik. Bila anda tidak dapat berenang, pastikan anda menggunakan pelampung yang juga disediakan oleh Pak Andi.
Namun, sayang sekali kami tidak dapat memotret keadaan di permukaan laut ketika kami terombang-ambing di atas perahu, atau merekam kehidupan di dasar laut, karena pengalaman yang satu ini nampaknya tidak dapat sekedar direkam melalui tulisan.
Setelah puas ber-snorkling dan ber-diving ria, jangan berhenti dahulu. Coba pinjam perahu milik pak Andi dan beranikan diri menggunakannya berkeliling bagan.
Setelah melakukan kegiatan di air, makanan yang ditunggu datang. Dalam keadaan basah dan lapar, sudah barang tentu ikan goreng, ikan bumbu asam pedas, sayur daun ubi (ketela) santan dan sambal terasi menjadi pelengkap kesempurnaannya. Bila anda berkesempatan makan di sana, jangan kelewatan mintalah dilengkapi sambal terasi Pak Andi, saya jamin rasanya extraordinary!
Sebenarnya untuk perihal makan, penginapan memberikan pilihan lain. Pondok juga dilengkapi dengan sebuah dapur mini dimana disediakan kompor dan segala peralatan masak dan makan, termasuk kompor dan gasnya. Para pengunjung hanya perlu membawa bahan makanan. Pada saat kami menginap di sana, kami juga mendapatkan sekaleng penuh gula kopi dan dua buah galon air mineral. Tentu saja bila anda berniat untuk memasak makanan anda sendiri, anda harus sangat memperhitungkan bahan makanan yang perlu anda bawa.
Setelah makan, mandi dan berganti baju, kami bersiap melakukan kegiatan lainnya. Dua orang anggota kelompok kami meminjam motor pak Andi untuk membeli beberapa keperluan di warung warga sekalian menggunakan waktu untuk sedikit berkeliling pulau. Jalan setapak bersemen, walau kecil cukup untuk membantu anda berkeliling. Ada baiknya pula bila anda mencoba berjalan kaki dan mengejar pemandangan ketika sunset (matahari terbenam) di sisi lain pulau.
Ketika malam menjelang, listrik mulai hidup. Ya, jangan khawatir, bila anda tidak bisa lepas dari alat komunikasi dan sambungan internet dan tak sabar untuk segera menulis status di media sosial anda, anda akan dapat melakukannya. Listrik di pulau ini hanya mulai bisa digunakan pada pukul 18.00 sampai pukul 6 pagi keesokan harinya. Sinyal telepon dan internet pun bisa didapatkan, walau kadang tidak stabil pada beberapa jenis layanan penyedia (provider).
Dari awal rencana keberangkatan kami, kami sudah menyiapkan dua buah alat pancing (fishing rod) untuk memancing di laut. Kami sangat beruntung kami meminta untuk diikutsertakan ke bagan milik pak Andi untuk dapat melihat kegiatan disana sekaligus memancing ikan.
Namun sembari menunggu saat kami akan diajak ke bagan, kami menyempatkan diri untuk menikmati malam dengan berkumpul, bermain kartu serta mempersiapkan HP dan kamera yang sedang di-charge sebagai amunisi merekam aktifitas di bagan kelak.
Pak Andi memiliki dua buah bagan. Menurut cerita dari para pegawainya, setiap bagan berharga kurang lebih Rp. 20 juta dan dibangun dengan gotong royong. Uniknya, bagan-bagan tersebut akan hancur dalam satu tahun ketika oleh angin musiman sehingga dalam waktu satu tahun itulah para nelayan dan pengusaha kelautan harus memperoleh hasil berupa keuntungan dan modal untuk membangun bagan lain.
Video berikut menggambarkan sedikit kegiatan di atas bagan. Sebuah bagan dapat menampung sekitar 7 sampai 8 orang. Pengalaman di bagan akan menjadi pengalaman yang menyenangkan dan sedikit mendebarkan, terutama bagi anda yang tidak dapat berenang atau takut ketinggian. Namun tidak perlu terlalu khawatir pula, pelampung yang disediakan perlu anda pakai dan pegawai Pak Andi akan siap membimbing pengunjung.
Kami berangkat ke bagan pada pukul 20.00 dan kembali menjelang tengah malam untuk kemudian mengolah ikan dan sotong hasil pancingan kami dengan membakarnya. Sotong yang kami dapatkan sebenarnya adalah hasil tangkapan Dani, salah seorang pegawai Pak Andi. Sedangkan Pak Andi juga menyiapkan beberapa ikan segar yang disediakan khusus untuk kami bakar.
Ketika kantuk telah mencapai mata dan lelah menyerang sel otak dan otot-otot, waktunya untuk beristirahat. Hampir semua anggota kelompok tidur di pelataran. Angin ternyata tidak membekukan, jaket dan kain seperlunya ternyata mampu membendung udara malam. Permasalahan terbesar adalah nyamuk. Lotion pengusir nyamuk atau obat pengusir nyamuk jenis lainnya juga merupakan peralatan wajib, meski bagi salah seorang anggota kelompok kami cicak nampaknya menjadi masalah yang terbesar, maklum ia menderita fobia terhadap cicak :).
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami harus bersiap meninggalkan pulau. Namun kami tidak akan mau melewatkan matahari terbit. Pada saat itu, matahari muncul tepat dibawah awan, seperti layaknya matahari muda yang bertopikan awan.
Sekitar pukul 6 pagi, kapal kembali membawa kami menyebrangi lautan menuju ke SI.
2. Hari Kedua
Rencana kembali berlanjut. Semula kami hanya ingin menginap satu malam di pulau, namun akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Singkawang yang memang tidak terlalu jauh dari SI. Tidak sekedar melakukan perjalanan ke Singkawang, kami juga berencana menginap sehari lagi. Kami berencana berkunjung ke Pemangkat, sebuah kota kecil yang kabarnya juga memiliki sebuah daerah wisata yang juga cukup menarik. Selain itu, kami juga ingin mengunjungi kedua teman yang pada awalnya berangkat bersama kami namun berhenti di SI untuk melanjutkan perjalanan mereka sendiri.
Tak berapa lama kami di Singkawang, siang hari setelah kami selesai makan kami langsung menuju ke Pemangkat yang dapat ditempuh kurang lebih selama 30 menit.
Kami berhenti di sebuah vihara Buddha Tridharma yang dikenal dengan sebutan Sin Mu’ Nyiong. Vihara ini adalah sebuah vihara tiga agama tionghoa, Budha, Konghucu dan Taoisme yang tertinggi di Pemangkat. Bertemu kedua teman tersebut, kamipun menapak anak tangga menuju kuil puncak. Yang menarik dari kuil ini, selain tempatnya yang tinggi dan terletak di sebuah bukit yang menonjol di Pemangkat, dari atas kita juga dapat melihat seluruh kota Pemangkat yang dikelilingi oleh laut. Hal menarik lainnya adalah kegiatan peramalan. Banyak pengunjung yang mencoba peruntungan dengan meminta diramalkan atas karir, jodoh dan nasib mereka. Sang peramal menggunakan bahasa China dengan dialek khe’ yang unik. Beberapa teman yang memahami bahasa khe’ pun kesulitan memahami dialek ini. Menurut beberapa teman lain yang memahami dialek ini, dialek khe’ Pemangkat sangat khas, serupa dengan dialek khe’ daerah Sambas yang juga digunakan di Singkawang atau Pemangkat, atau bahasa jawa Banyumasan yang dialeknya tersebar di Purwekerto, Tegal, Banyumas atau Cilacap :D.
Setelah puas menikmati pemandangan kota Pemangkat dari ketinggian, kami pun memburu makanan dan memutuskan agar kedua anggota tersebut ikut menginap beramai-ramai di Singkawang.
Mereka mengiyakan, namun sebelum kami berangkat, kami menuju ke perkebunan jeruk Tebas yang sangat terkenal sebagai jeruk Pontianak yang manis tersebut. Disana kami sempat mendokumentasikan sebuah lahan perkebunan jeruk serta sempat menyicipi beberapa buah jeruk secara cuma-cuma yang diberikan oleh salah seorang pegawai.
Menjelang malam, kami melakukan perjalanan kembali ke Singkawang. Setelah makan malam, kami kembali ke hotel, kembali bermain kartu (ha ha ha) dan beristirahat.
3. Hari ketiga
Keesokan harinya kami mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan kami pulang ke Pontianak. Namun sebelumnya semua bersepakat untuk pergi sarapan dan sekedar berkeliling kota Singkawang untuk mencari oleh-oleh. Beberapa teman sengaja memburu biji teratai yang biasa didapatkan di toko buah-buahan, beruntung mereka mendapatkannya. Karena seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, sangatlah tidak mudah untuk mendapatkan biji teratai ini. Beberapa penjual mengatakan bahwa biji teratai memiliki musim panen yang hanya pada waktu tertentu saja didapatkan di toko buah-buahan, seperti kali ini.
Hari terakhir kami habiskan untuk berkeliling pasar Turi Singkawang atau ke beragam spot untuk mencari oleh-oleh. Selain biji teratai, yakinkan anda membeli rujak Singkawang yang sangat terkenal. Beberapa anggota rombongan juga sempat membeli mie putih untuk dibawa pulang. Mie putih ini adalah mie yang terbuat dari beras dan biasanya dijadikan bahan dasar untuk makanan seperti kwetiaw atau bakso.
Kedua teman kami kembali tidak dapat mengikuti perjalanan pulang ke Pontianak karena mereka memiliki rencana dan waktu sendiri dan harus tinggal di Singkawang untuk beberapa waktu.
Terakhir, sebelum mengakhiri ‘pelarian’ tiga hari, kami menyempatkan diri mampir ke Gereja Katolik Santo Fransiskus Asisi Singkawang. Bagi umat Katolik, ada hal yang unik yang bisa didapatkan di gereja ini. Kami sengaja mengunjungi tempat tersebut untuk membeli roti. Bukan sembarang roti, tapi roti yang dibuat dari remah-remah (crumbs) roti hosti yang sudah tidak dapat digunakan untuk liturgi ekaristi. Roti ini karena merupakan ‘daur ulang’ dari remah-remah memiliki sifat dan tekstur yang rapuh. Rasanya tidak manis, hanya roti gandum biasa. Namun ada sensasi terberkati ketika memakannya, maklum bagaimanapun roti ini dibuat dari remah-remah roti yang biasa digunakan dalam ritual keagamaan :).
Pelarian pun berakhir sudah, namun bagaimanapun pelarian dapat dilakukan kapan saja. Terutama ketika beban pekerjaan merayap dan kami membutuhkan sokongan teman dan kawan yang bersedia membagi tawa canda, kekonyolan dan cerita mereka untuk kembali menyelimuti kami dengan kegembiraan dan kenyamanan untuk kembali menghadapi hari.
Catatan Kuliner
Sayang sekali, bagi anda yang menganut agama Islam, ada baiknya anda melewati bagian ini. Karena makanan yang menjadi catatan mayoritas mengandung bahan yang dilarang untuk dikonsumsi oleh kaum Muslim, yaitu daging babi. Namun, bagi non Muslim dan ingin mencari informasi mengenai kuliner, mungkin catatan kuliner ini dapat menjadi tambahan informasi dan semoga menggugah selera anda.
For the past ten years or so, there are a quite familiar custom held by a rich (or a very rich) person, or a public (governmental) officials in the public holidays, especially the religious ones, in Indonesia. It is ‘an open house’. Despite of the political and business purpose of the open house’s holder, open house actually has a ‘very Indonesian’ meaning, where religious tolerance, social care, and any of Pancasila’s characteristics are bound together in this custom. Two big religious ceremonies in Indonesia, Idul Fitri (Lebaran) and Christmas are often celebrated by holding an open house in a home office of a public official or a private house of a businessman to show that they care with the surroundings. By letting all people from different social groups, religions, ethnicities, wealth or economic state, to enter their houses, the open houses’ holders also show their feeling of tolerance and the sense of kinship. Open house becomes a way to get closer with the people (once more, despite the implicit (or even negative) purpose behind it).
‘Open House’ according to Merriam-Webster Dictionary (2012) is defined as ‘(noun) ready and usually informal hospitality or entertainment for all comers.’ By looking at this definition, no wonder that an open house becomes a culture in Indonesia, especially when it is compared to Indonesian’s people’s natural characteristics, where put the kinship, understanding, and tolerance at the top of the social life.
Though open house just started for around the last ten years ago, it becomes popular today along with more and more people become successful and richer in Indonesia. Of course by looking at this view, an open house is also meant a ‘show off moment’ to flaunt and expose ones’ wealth, especially because in an open house the host provides meals and entertainment.
This Christmas (2012), luckily, a big open house was successfully held in Pontianak (Kalimantan Barat (West Borneo) province, Indonesia) by its governor. As a Christian and a public official, Cornelis can be said as an official who first started this custom around five or six years ago, at the time he was elected through a democratic political election. He started this custom (perhaps now a culture) in the first term of his government and leadership. Now, as he was elected for the second time, the open house was held again as an annual custom, but now it is held in his second term.
On December 25 and 26, the open house was held in the governor’s home office. Different comers from different background were welcomed to visit this place. As it was held the previous years, foods, meals, drinks, and entertainments were always been waited. People came for free meals almost without limitation! What a party, right? The meal time started from 10.00 am to 05.00 pm and restarted at 06.00 pm to 09.00 pm, a break for the Muslim’s afternoon prayer.
Well, it was quite interesting for sure. That was why, I and my brother took a digital camera to freeze the moments and to have some meals of course. We visited the governor’s home office on December 26, right at lunch time 😉
I didn’t visit the open house last year (2011), but I did come the year before. This Christmas, I wanted to put this simple story in my blog to be shared.
In the governor’s home office square, we can see a huge Christmas tree. However, it is more beautiful if it is seen or taken by the camera at night… its lights of course. In the front door of the house, people were checked for their belongings through a metal detector and some security officers. It was a routine.
The interesting part was already seen in this part. In Indonesia, besides a Christmas tree as a symbol and a must in a Christmas, there is also a Christmas ‘cave’ (gua Natal). It is a structure imitating a place where Jesus was born. So, we can see statues of Jesus, Mary, Joseph, angels, a huge star, or even some more properties such as sheep, and the kings. The structure or building of this cave is usually made of papers painted with colors of the nature: color of the stone, grass, and sky. Some people build it in their houses, and also the churches. Some build it in a tiny structure and some build it in a very gigantic form.
On the front wall of the home office, range from most corner side to another side, there was a long and huge Christmas cave. On the right side of the entrance, we could see a Christmas cave with statues describe the story of Jesus’ birth, while on the left side of the entrance – this one is unique – we could see a scale model of a long house, a traditional house of dayak people.
The home office of the governor consists of four main rooms. There are two guest rooms, one dining room, and a big hall with a stage in it. When we entered the building, we could find the first guest room. It was a Malay-style guest room, where the unique characteristics could be found from the style of the chairs, ceiling ornaments and chandelier.
Hey, there was also a welcoming Santa! A robot singing playback song over and over… it was interesting for kids for sure. However, after few minutes, you really wanted to shut down and kill this robot… ha ha ha… I couldn’t imagine how bored the receiving-line-guy over there… 😀
Well, I will skip the second guest room. It was the time where the governor served people to take a picture with him. So it must be a very crowded time and room. When I said ‘people’ I referred to ‘special’ people, perhaps some business people, public officials and their families, the governor’s relatives and friends, and more special people. Common person like me wouldn’t dare enough to ask for a picture or two (though I don’t think that the governor himself mind about this). It was the main room where the governor’s and his families’ rooms were located. However, despite dare or not one in asking for a picture, people were very welcomed to enter this guest room. To sit and eat (if you confident enough), just to look around (many people were curious to see the insides of the building), or to take some pictures by yourself). So, let just consider, the second room was prepared for people who were confident enough to be the ‘special’ ones – with a note that there was no prohibition to anyone who wanted to stay in the room.
The third room was also an elegant room. It was a dining room with beautiful Malay-style-ceiling and chandelier – and some dayak ornaments in the entrances. Meals were prepared for anyone to have them. There were dim sum, roti cane [my Indian friend told me to spell ‘cane’ with ‘cenai’], bakso, sate, empek-empek, some fruit salads, and some more drinks. I particularly decided to take roti cane [cane bread], an Indian-middle-eastern-based meal which is known in Pontianak.
Here too, actually I and my brother thought the same thing. People should be confident enough to sit and eat at the round tables in the room. Most people wore shirts, formal dresses, and some even wore gowns. People were welcomed to sit and eat anywhere in the place actually, but hey, who were able to stop the feeling of ‘eliteness’? We didn’t care though; the foods were hilarious, ha ha ha…
The last room was a big hall that could cover more than two hundred people. There were meals and drinks. Perhaps, ‘common’ people decided to sit and eat in this room better than the two previous rooms. Well, you didn’t have to speak, sit and eat formally and in particular manner, right? You can let your children running around the hall in mouthful of beef… ha ha..
Nice hall though. Dayak and Malay decorations and ornaments were beautiful stuff. Don’t forget about the meals and entertainment. On the stage some singers (or anyone who wanted to present some songs, freely) gave their best. Some even danced on the floor, with dangdut rhyme and a single keyboard player. In other words, this hall was placed for a really naturally public room.
On the corner of one wall, on the right side of the stage, I took a picture of ornaments on the wall with a stand piano. It looked luxurious.
Enough for the building, let’s go to the foods!
Three main foods were presented in the hall; bakso, lontong sayur, and rice together with side dishes: meats and vegetables. Each type of the dish was presented in two different stands, including the drinks. (Mention it, cokes, teas, plain mineral waters). Don’t forget, the Christmas cakes!
It was totally all you can eat! You could come back for the dinner though…
In brief, it was totally awesome for you who were a foodwhore! Especially bakso, it is always be the most popular food in Pontianak (perhaps in Indonesia). No wonder, people would kill to stay on the line in front of the cooks to deliver the food for them!
Well, if you’re lucky, for the next four years from now, you can still experience this custom and culture, as long as today’s West Borneo’s governor still will be held by the same person. Full of hope, for the next governor, this culture will be still kept and maintained. I really don’t care if the governor won’t be a Christian anymore, as long as he/she will hold the ‘party’ in Id (Idul Fitri), Christmas or any public holiday … J
My friend just came from Germany – he’s an Indonesian who works in a very famous European car company – to visit his family in Pontianak (West Borneo, Indonesia) and to take a break for a while. As the result, he gathered around his companies and old partners in crime forcefully and he was serious in that. He succeeded in forcing them – including forcing his friend to also have a break from Batam just to come to Pontianak – to gather around and had some fun for some time.
We did the karaoke thing, had some dinner, and some more chatting with much more sharing. Well, it was decided further than that we had to take a trip before he went back to Germany. Travel therefore means more time together to have some more chatting while enjoying the trip itself.
Indonesia is an archipelagic country with the longest coastal line in the world. It means that we can find beaches in almost everywhere we go and of course high places as the perfect partner for beaches. West Borneo actually is not a tourism city as we know as it is well-known for other cities in Indonesia such as Bali, Yogyakarta, Bandung or even Jakarta. West Borneo is more a living business city. However, hey tourism is a business thing too, right? So, it is no wonder, we can easily find any tourism spots as well in West Borneo (though as I mentioned previously, perhaps the spots are not as well-known as Bali is). One of the most famous tourism spot in West Borneo is a city called Singkawang. I suppose all people or citizen of this province will suggest any tourist to visit this place.
There is a significant growth and development in Singkawang’s tourism business lately. The local government seems able to raise the city’s potential. There are more and more beaches for tourism spots, restaurants and cultural events held to draw and attract the tourists. The city is also succeeded becoming one of the favorite nationally broadcasted television shows in travelling program. It is also famous for its’s festivals such as Chinese New Year’s Day or Chinese Lantern Festival, since Singkawang is inhabited by Chinese ethnic group majorities.
As I said previously, most Indonesian tourism spots offer beaches and high places, it also works for Singkawang. So, there we go… eight of us went travelling. A rented car is suggested, though some also prefer motorcycles and public transportation for a three-to-four-hour trip.
We decided to have a lunch first as we arrived in Singkawang. We chose a restaurant in a high place; it is located in a hill actually. Batu Mas (literally ‘Golden Stone’) restaurant is placed right in the ‘area’ around the hill. We could find villas and more restaurants around the area.
As stated as the title of this writing, I purposefully put the images and photos in square shape. The photos are Instagram-effect-edited and Polaroid-like just for the sake of art… ha… Don’t worry anyway, I’ll put some more professional photos from the professional camera also later on.
It was a-two-story building where the view was very stunning. However, we found out that the second floor would be better in the view and perhaps more private for eight of us. Though was charged for 10%, the result was satisfying.
Here’s some description in video:
Here come the meals …
Tofu and Green Bean … Yummy
Seafood and Vegetables: ‘Pakis’ and Vegetables Soup
More soup: mushroom soup and of course Indonesian can’t have meals without chili spices….
After having lunch, there was a quite interesting conversation. It was about table manner. Excuse us for having different table manner, or perhaps it was just our lack of table manner knowledge. Our common thought (in Indonesia) after having meals we should put the spoons and forks upside down and cross them. It means that we have enough.
However, our Germany friend told us that after having meals, German (or Europeans) usually put the spoons and forks in the normal position side by side and without put them upside down. Well, it was quite something. All the seven later on would do this after we have meals 🙂
Next trip was to another high place. It was actually a new tourism spot and is still in the development. There is ‘Puncak’ in Bogor and ‘Kaliurang’ in Yogyakarta, and now West Borneo has a new one, it is called ‘Rindu Alam’ (literally ‘Miss the Nature’).
I tell you, the view of the sky was expensive…
Road to Rindu Alam:
Rindu Alam:
We continued to another side of this high place, we went to the forest. Well, it’s Borneo; we will easily find beautiful forests everywhere.
Next destination was beaches! The beaches are actually still in a hell of huge area. More than three beaches and tourism spots alike are included in the area (Including ‘Simping island’, ‘Sinka Zoo,’ and some more beaches). We visited ‘Tanjung Bajau’ and ‘Palm Beach’ in a particular purpose, to catch the sunset!
This beach is famous for its icon: a giant statue of Godzilla-like creature fighting with a giant squid. It was an interesting fact, because it seemed like a must that in any tourism spot there should be statues. Along our trip, we could find statues and more statues. Funny statues, serious statues, abstract statues, or even unimportant statues. It started with the statues of winged-elephants almost every corner near the Tanjung Bajau beach. In Tanjung Bajau itself we found giant statues of Godzilla (which we did not even recognize what it symbolized), crab, turtles, penguins and Mermaid. Oh, right, back to Rindu Alam forest, we could find giant statues of iguana, turtle and elephant as well…
Mermaid gigantic statue!
See what I said, statue. Anyway, enjoy the view of the sky though.
Weeee…. They also had Ferris wheel. I always wanted to have a picture with a Ferris wheel as the background. They had a funfair including marine sport, banana boat and stuff.
It was getting darker. Time to take more pictures … Enjoy!
Walked a little bit, and we’ve got ‘Palm Beach..
And this was the main show … Sunset at Tanjung Bajau and Palm Beach
Was it time to go home?
Wait, we were hungry… We went to the Singkawang downtown to find some food. Chinese food would be great.
As the result, we visited one of the famous restaurant in the city. It was a Thai-Style restaurant with the literal name ‘Rumah Makan Ala Thai’ or ‘Thai-Style Restaurant,’ ha ….
The cooks and their spices…. bunch of spices…
Though the restaurant called itself Thai-style, the food was actually various from locals to Chinese food.
So, there we go… We had chai sim, Fu Yung Hai, Tom Yam, and more ….
Don’t forget the rice..!
We were full, and we had learned the European table manner then… ha ha
Time to go home then… We had around for hours or so, because it was at night we chose not to be hurry. We stopped in a coffee shop in ‘Sungai Pinyuh’ around one hour to Pontianak to have a cup of coffee… Nothing more relaxing than a cup of coffee with friends after a journey..
Hey, I still have more photos from a more professional camera. But for this moment, please enjoy these images and our journey …
It is a tiny hidden haven placed in an island in West Kalimantan [Borneo], Indonesia, a fisherman’s village with unique and surprisingly hospitable people and culture. Bugis ethnic group lives in this island in harmony. They also produce clove and nutmeg, which makes the island smells good and colorful with the clove fields. Enjoy!
1. Clear and shallow water and tens of bagans [fishing buildings] in the middle of the sea. One can walk from the island around a hundred meter to the sea as if she or he is walking on the water.
2. Very clear water.
3. Fabulous sky in the afternoon preceding the sunset.
These pictures are only a few of tens photos i have. I’ll put more pictures and stories in part 2 … Be patient and enjoy the view …
Ketika anda berada di Pontianak, bila anda menanyakan jenis makanan apa yang paling populer bagi warga, hampir jelas jawabannya adalah bakso dan nasi goreng. Memang khusus bakso sendiri telah populer tidak hanya di Pontianak, tapi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Bakso dan soto memiliki banyak varian dan taste yang beragam bergantung pada daerah dan pengaruh selera bahkan budaya masyarakat dimana makanan itu berada. Kemudian, saya sengaja browsing di Internet dan mencoba mencari begaram literatur serta informasi lisan mengenai asal muasal makanan favorit ini. Seperti saya duga sebelumnya, secara linguistis, bakso mungkin sekali berasal dari negeri China yang dibawa masyarakat etnis Tionghoa beratus-ratus tahun yang lalu ke daratan Indonesia dari negara asalnya. Kata ‘bak’ yang berarti ‘daging’ juga dipakai pada jenis makanan lain yang juga cukup dikenal di Indonesia, seperti bakpao, bakmi atau bakpia. Di Pontianak sendiri, dimana budaya Tionghoa cukup terpelihara: Chinese food, bahasa Tionghoa (dialek Tio Ciu, Hakka (khe), dan Mandarin tentu saja), upacara budaya dan keagamaan (termasuk terpeliharanya keberadaan ajaran dan penganut Budha (Theravada dan Mahayana), Kong Hu Cu, Taoisme), serta beragam jenis makanan dengan citarasa asli Tionghoa masih sangat kental. Oleh sebab itu, makanan-makanan yang memang pada mulanya memang berasal dari negeri China tersebar di seluruh Pontianak. Misalnya di sepanjang Jalan Gajahmada atau Tengku Umar (kompleks Pasar Mawar (dulu dikenal sebagai pasar sentral)), kita dapat menemukan beragam jenis makanan seperti mie tiaw, tau swan, nasi cap chai, ko kue, chai kue, bubur ikan, bakso tahu asin, mie kepiting dan sebagainya dan sebagainya …
Namun kemudian saya kembali bertanya-tanya, bukankah di daerah dengan budaya Tionghoa asli yang masih terpelihara, beragam makanan yang berasal dari China itu dapat dengan baik dibuat dan dijual oleh masyarakat Tionghoa itu sendiri? Nah, yang unik, ini tidak terjadi khusus pada makanan bakso dan swike …
Bakso dan Swike (dengan bahan dasar daging kodok) walau sebenarnya merupakan jenis makanan Tionghoa, di Pontianak cukup dipuaskan oleh keterampilan para penjaja etnis Jawa. Bakso diakui sebagai makanan favorit semua etnis masyarakat tanpa memandang perbedaan sosial ekonomi. Para penjual mayoritas berasal dari etnis Jawa dengan beragam nama dan ‘gelar’, seperti bakso Edi Solo, Bakso Setan, BaksoL, Bakso PSP, Bakso Johar, Bakso Se Loy Siantan dan ssebagainya …
Bakso Pontianak biasanya terdiri dari mie putih, mie kuning, sawi dan kecambah, serta tentu saja andalannya pada bola-bola daging yang menjadi ciri khasnya. Misalnya bakso yang berisi telur, bahkan pada Bakso Setan di daerah Jalan Danau Sentarum, bulatan daging berisi cabe rawit yang pedasnya luar biasa …
Ini dia Bakso Setan …
Begitu juga dengan swike. Meskipun bisa dikatakan swike adalah jenis makanan yang berasal dari etnis Tionghoa dan tidak semua golongan masyarakat yang dapat dan mau menikmati (biasanya karena pandangan dan larangan religius), swike yang paling populer dan menjadi favorit warga Pontianak (tentu saja yang menjadi konsumen terbesar swike berasal dari etnis Tionghoa) adalah penjaja dari kalangan etnis Jawa. Yang paling terkenal adalah Swike Pak Sapto di daerah dekat Gereja Katedral Pontianak …
Penulis dan Swike …
Ini dapat dikatakan bahwa meski pada asalnya, Bakso dan Swike adalah makanan asli warga Tionghoa, tetapi setelah beragam perubahan dan sejarah yang mewarnainya, kini kedua jenis makanan tersebut malahan populer dibuat dan dijual oleh warga non Tionghoa, terutama dari etnis Jawa. Ini juga menunjukkan bahwa masalah rasa tidaklah mengenal etnis atau golongan masyarakat tertentu. Siapa saja dapat menjadi ahli dalam meracik masakan, menikmati, atau berbisnis di bidang tersebut.
Semenjak saya sering pulang kampung ke Pontianak selama tahun 2000-an dari Jogja, semasa saya kuliah dulu, saya kerap memperhatikan sebuah bangunan yang tinggi, menonjol dan lumayan bagus menurut saya. Letaknya di Jalan Tengku Umar Pontianak, tepat di seberang area pertokoan Pontianak Mall. Saya dapat melihat jelas bangunan yang menjulang tinggi ke langit Pontianak yang cerah ini dari Nav, sebuah tempat karaoke [he he he] yang terletak di jajaran pertokoan Pontianak Mall, tepat di seberang gedung bertingkat ini. Gedung ini setahu saya belum pernah beroperasi. Padahal, bangunannya sangatlah menonjol, baik karena tingginya ataupun bentuknya yang lumayan mewah, apalagi dengan ujung gedung yang berbentuk lacip yang unik …
Di jalan Tengku Umar ini juga lah pada malam hari di waktu-waktu tertentu [terutama pada musimnya] banyak bertebaran para penjual buah durian. Seperti diketahui bersama, durian adalah salah satu buah yang menjadi idola masyarakat. Bagi masyarakat Pontianak, durian sangat akrab, karena memang selain populer, harga durian di tempat ini sangatlah murah. Sebagai contoh di jalan Tengku Umar inilah durian dijual dengan harga 3.500 perak per biji … Harga ini tentu saja mengejutkan bagi masyarakat di tempat lain. Sebagai perbandingan saja, harga durian di Jogja bisa mencapai 30.000, 40.000 bahkan 70.000 per biji. Saya kurang tahu, apa ada durian yang berharga 15.000 perak di Jogja. Mohon maaf, maklum, saya benci durian … [he he he] … Kapan-kapan akan saya fotokan kondisi dan kegiatan jual beli durian ini. Saya akan sampaikan di posting yang lain.
Ketika saya coba cari informasi kepada orang tua dan teman [serta pacar tentunya, yang memang sudah tinggal di Pontianak sedari orok], rupanya gedung ini milik sebuah perusahaan bernama P.T Bumi Indah Raya, sebuah perusahaan yang bergerak dalam usaha perkayuan, yang kemudian bangkrut. Konon, gedung ini akan dijadikan sebuah hotel. Pembangunannya membutuhkan waktu yang cukup lama [ya itu, mungkin sepanjang saya bolak balik Jogja-Pontianak tahun 2000-an]. Tetapi setelah pembangunan usai, usai pula riwayat perusahaan ini … Jadilah sang bangunan misterius yang menjulang ini tak berfungsi dan tak tahu bagaimana kelanjutannya …
Lalu, bangunan misterius mana lagi kah di Pontianak yang anda tahu??
Pontianak, October 31st 2010
Nah, inilah gedungnya … saya foto dengan kamera hap saja … indah ya langitnya?